Saya menjadi sangat emosional jika melihat ulasan atau tulisan yang menjelaskan tentang "kematian" para petani kita, petani Indonesia. Apalagi jika melihat dari dekat fakta bahwa petani kita memang bisa dianggap bukan petani "pengusaha", melainkan petani "buruh". Baiklah saya menerima karena itu memang kenyataannya. Saya adalah cucu petani, saudaranya petani dan tetangga para petani.
Tapi kenyataan itu tidak lantas membuat kita harus terus menangisi petani kita. Apakah ada solusi dari masalah diatas. Saya yakin selalu ada. Karena tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Saya ingin melihat masalah ini dari kacamata saya sendiri sebagai orang yang tidak bisa dikatakan dekat tetapi sejak kecil melihat kehidupan para petani.
Ternyata masalah yang sangat mengganggu para petani yang saya lihat adalah bagaimana sulitnya mereka mengontrol harga dari hasil pertaniannya, kelangkaan pupuk saat tanam dan mahalnya harga-harga obat pembasmi hama yang menyerang tanaman mereka. Selalu itu yang menjadi masalah terutama sejak era reformasi berlangsung. Nenek saya pernah bercerita, dulu menanam apapun di ladang rasanya sangat mudah. Tidak perlu pupuk macam-macam dan obatan-obatan kimia yang aneh-aneh.
Ketiga masalah diatas adalah konsekuensi dari adanya tiga pilar utama industri yang menunjang kehidupan seluruh masyarakat kita. Industri pupuk, industri obat-obatan, dan industri tani itu sendiri, yaitu petani yang menjadi pekerja lapangan yang langsung berhadapan dengan sawah, ladang dan kebun yang mereka miliki. Disinilah keuletan dan ketrampilan para petani yang dibutuhkan.
Sayangnya untuk menjadi petani umumnya masyarakat kita tidak harus mengenyam pendidikan yang tinggi. Kultur dari masyarakat negara Indonesia adalah kultur tani, sehingga sekuat apapun tenaga yang diberikan oleh para penyelenggara negara untuk menyejahterakan rakyatnya tidak akan pernah berhasil jika negara tidak memberi perhatian yang serius kepada ketiga industri diatas.
Sedangkan dua industri yang lain yaitu pupuk dan obat-obatan yang notabene para praktisinya harus mengenyam pendidikan yang tinggi selalu menjadi momok yang menakutkan bagi para petani. Industri penunjang pertanian ini juga tidak bisa disalahkan karena mereka berdiri atas dasar dedikasinya yang diperuntukkan untuk para petani, sehingga menghasilkan produk-produk yang bermanfaat untuk memajukan industri pertanian. Bagaimanapun kedua industri tersebut tidak boleh mati, karena sebagai penunjang bagi berlangsungnya kehidupan petani dan industri pertanian itu sendiri.
Sebuah Solusi
Malu sebenarnya mengatakan ini sebuah solusi, tapi menurut saya, sah-sah saja kita menyampaikan sebuah pendapat, syukur-syukur jika pendapat itu menjadi pertimbangan bagi penyelesaian sebuah masalah.
Menurut hemat saya, para petani yang terhormat itu tidak dapat dipersalahkan karena mereka adalah korban dari buruknya sebuah sistem dan ketidaktahuan, atau ketidakmauan para penyelenggara negara dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di negeri ini. Mimpi saya kelak jika para penyelenggara negara tidak lagi menganggap dirinya sebagai manusia yang harus dilayani serta dihormati dan berganti menjadi manusia pelayan, maka semua masalah yang melingkupi hidup berbangsa dan bernegara ini akan berangsur-angsur akan selesai dengan sendirinya. Mudah-mudahan itu tidak lama lagi.
Lalu apakah kita akan menunggu masalah akan selesai dengan sendirinya ? saya harap tidak.
Pertama, berkaca kepada fakta di lapangan, saya sering melihat ketika seorang tengkulak menawar harga padi yang dipanen seorang petani. Para tengkulak ini menawar dengan harga rendah dengan memberi alasan logis, "karena harga dipasaran memang segitu, kalau tidak segitu nanti saya tidak dapat untung". Jadi siapa sebenarnya yang menciptakan pasar. Tentu saja penyelenggara negara. Faktanya adalah tempat terakhir dari padi yang dihasilkan oleh petani ini nantinya akan lari ke lumbung-lumbung yang telah disediakan pemerintah. Artinya pemerintahlah yang membeli padi dari para petani.