Tulisan ini sebenarnya tulisan jadul, tetapi karena selama menjadi anggota Kompasiana belum bernah memposting tulisan, yah lebih baik posting saja tulisan ini, as the first... semoga nanti lebih semangat nulisnya... Amin...
Jilbab/kerudung kembali mengemuka dan menjadi topik hangat ketika salah satu pasangan Capres-Cawapres yang kebetulan istri masing-masing mengenakan jilbab, menyentil salah satu pasangan lainnya yang kebetulan istri Capres maupun Cawapresnya tidak mengenakan jilbab.
Topik ini menjadi hangat dan cenderung liar ketika salah satu partai pendukung Capres-Cawapres tersentil menyarankan agar istri mereka memakai jilbab juga. Belakangan kemudian diralat dengan mengatakan jilbab hanyalah masalah selembar/secarik kain (kalau tidak salah ingat) dan seharusnya tidak menjadi isu besar dalam kampanye Pemilu Capre-Cawapres, dalam dunia politik.
Betulkah jilbab hanya secarik kain?
Apakah jilbab mengekang atau membebaskan wanita yang memakainya ?
Beberapa website, portal berita ataupun blog yang sempat saya baca, pada bagian komentar pembaca ternyata terjadi debat atau diskusi yang seru mengenai topik tersebut di atas. Ada yang setuju, ada yang tidak dan ada pula yang menyerahkan sepenuhnya kepada masing-masing individu wanita Islam, terserah mau pakai atau tidak karena menganggap bahwa hal tersebut adalah sebuah pilihan, bukan sebuah kewajiban.
Pihak yang tidak setuju umumnya mengatakan bahwa negara kita bukanlah negara Islam (walaupun penduduknya mayoritas menganut agama Islam, malah Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia), negara kita adalah negara dengan ideologi Pancasila, negara Bhineka Tunggal Ika, negara majemuk, negara yang menghargai keanekaragaman jadi tidak perlu memakai jilbab, meskipun menurut hemat saya tidak ada hubungannya negara majemuk, plural ataupun apa namanya dengan memakai jilbab bagi wanita Islam. Malah ada yang mengatakan bahwa jilbab hanyalah budaya warisan bangsa Arab, bukan kebudayaan asli Indonesia. Lebih baik memakai kebaya atau yang lainnya. Sebaliknya pihak yang setuju, mengatakan bahwa jilbab adalah kewajiban seorang wanita Islam, muslimah sebagaimana yang diperinyahkan dalam kitab suci Al-Quran. Kewajiban bagi semua wanita Islam yang beriman, sekali lagi yang beriman.
Berhubung karena saya bukanlah seorang ahli agama Islam, tidak pula bermaksud untuk sok suci, malah sepertinya masih jauh dari kategori tersebut, maka perhatian saya bukan pada konteks jilbab itu wajib atau tidak dalam Islam, tetapi lebih kepada pengamatan pribadi ataupun fenomena umum yang terjadi di tengah-tengah kita setidaknya dalam kehidupan sehari-hari kita.
Saya punya pengalaman pribadi pada saat kuliah dulu, ketika baru mengenal atau dikenalkan dengan internet. Ketika itu seorang teman kuliah menunjukkan sebuah situs cerita dewasa www........com (maaf, disamarkan - Red) yang berisi cerita, pengalaman pribadi ataupun rekaan, yang pada intinya menceritakan kepada pembaca, pengalaman penulisnya ketika melakukan hubungan seksual yang pada umumnya dilakukan dengan orang yang bukan istri ataupun suaminya, entah pacarnya, pacar temannya, kenalan baru, pembantu, tante-tante, om-om, guru, dosen, pemerkosaan, sejenis/hubungan sedarah (maaf; ibu kandung, bapak kandung, anaknya) dan lain-lain.
Sialnya (he.. he..) saya kemudian membaca sebagian besar cerita tersebut kalau tidak bisa dikatakan semuanya. Saya menceritakan hal ini bukan bermaksud sebagai sebuah pengakuan pribadi kepada pembaca ataupun apa namanya, tapi ingin memaparkan beberapa hal yang sangat menarik untuk diketahui utamanya perempuan terkait dengan cerita-cerita tersebut.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa pada umumnya motivasi dari para penulis cerita tersebut ketika akan memutuskan akan melakukan hubungan seksual tanpa ikatan (umumnya cerita-cerita tersebut menggambarkan hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan dan umumnya adalah penulis laki-laki walaupun sebagian juga benar atau tidak penulisnya mengaku wanita) diawali dari pengamatan fisik perempuan sebagai objeknya. Umumnya pada paragraf-paragraf awal biasanya digambarkan bentuk fisik perempuan yang akan menjadi objek cerita misalnya tinggi badan, kategori cantik atau tidak, usia, bentuk badan seksi atau tidak, perkiraan ukuran payudara, bentuk pinggul, warna kulit, tungkai/betis dan bagian-bagian tubuh perempuan yang lain yang dianggap menarik atau berkesan secara seksual dalam khayali penulisnya.
Setelah itu digambarkan pula keseharian dari si wanita misalnya jika setting cerita di rumah maka sehari-hari dia melakukan aktivitas apa, memakai pakaian misalnya daster dengan belahan rendah, baju ketat dan seksi, gaun tidur transparan, baju renang, kebaya dan sebagainya. Terus digambarkan pula misalnya si wanita misalnya jika sudah bersuami maka suaminya lagi keluar, lagi bekerja, ke luar kota, janda, istri pelaut dan sebagainya. Jika belum bersuami maka akan digambarkan misalnya si wanita adalah pacar si penulis, rumah atau kost lagi sepi dan lain-lain. Sebaliknya jika setting cerita di luar rumah gambarannya pun hampir sama, apa aktivitas si wanita, memakai pakaian misalnya blazer yang menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya, lehernya yang putih dan jenjang, betis dan indah; kaos ketat, dan lain-lain. Settingnya misalnya bisa berawal dari kantor entah si wanita atasan atau bawahan, si wanita dan penulisnya sering curhat-curhatan kemudian akhirnya si penulis mengambil kesimpulan jika si wanita misalnya jika sudah bersuami, tidak mendapatkan kepuasan seksual dalam kehidupan rumah tangganya dan sebagainya.