Mohon tunggu...
Kamalia Purbani
Kamalia Purbani Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Pemerintahan, Lingkungan Hidup dan Pemberdayaan Perempuan

Purnabakti PNS Pemerintah Kota Bandung. Terakhir menjabat Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan. Pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Pemberdayaan Perempuan, Kepala Kantor Litbang, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya, Kepala Bappeda, Inspektorat, Staf Ahli Walikota Bidang Teknologi Informasi, Asisten Daerah Pemerintahan dan Kesra

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Aku dan Emotional Sponge

24 Agustus 2023   11:37 Diperbarui: 24 Agustus 2023   12:23 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada satu saat, seorang teman yang juga psikolog menyatakan bahwa saya cenderung memiliki kepribadian emotional sponge. Dia mengatakan itu setelah beberapa kali saya ketemu dia dan saya menceritakan banyak hal tentang apa yang saya rasakan dan saya lakukan. Menurutnya pula, kepribadian emotional sponge yang saya cenderung miliki telah berdampak kurang baik terhadap kesehatan mental saya. Jadi saya harus mulai menghindari emotional sponge dan belajar mengendalikan emosi lebih baik.

Istilah emotional sponge baru belakangan ini saya kenali walaupun sebetulnya saya sangat menyukai buku-buku dan artikel terkait psikologi. Menurut referensi, emotional sponge, sesuai namanya menandakan tipe kepribadian orang yang mudah menyerap emosi dari lingkungan sekitarnya. Orang seperti ini cenderung memiliki empati tinggi hingga bisa merasakan seberapa dalam rasa sakit atau kesedihan orang lain.  Terlebih, jika mereka pernah mengalaminya. Oleh karenanya,  mereka mudah merasa frustrasi, marah, sedih, dan cemas setelah menyerap emosi yang dirasakan orang lain.

Selain empati tinggi, seseorang yang memiliki emotional sponge juga memiliki intuisi yang bagus. Akan tetapi, mereka mungkin sulit mengelola emosi yang dirasakan diri sendiri. Justru, mereka malah merasa bertanggungjawab atas hidup orang lain.

Di lingkungan teman-teman dan saudara, menurut mereka, saya termasuk orang yang nyaman bagi mereka untuk curhat. Secara kebetulan dalam perjalanan pekerjaan saya sebagai PNS pernah ditempatkan dalam satu Lembaga yang salah satu tugasnya adalah menjadi tempat pengaduan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. Saya pun pernah mendapat intensive course untuk mendapatkan sertifikat sebagai konselor korban KDRT berbasis gender.

Kilas balik ke masa lalu, ternyata gejala-gejala itu sudah muncul ketika saya masih di bangku sekolah dasar. Saya sempat tidak bisa tidur semalaman saat tetangga depan rumah meninggal mendadak. Saya bayangkan bagaimana kesedihan istrinya menghadapi hal tersebut. Sayapun sempat menggantikan formasi teman satu tim gerak jalan Bandung Lautan Api secara mendadak sakit. Saya bayangkan bagaimana nasib tim fakultas kami yang sudah berlatih namun pada hari H tidak bisa ikut lomba. Saya cenderung merasa empati berlebihan dan ingin berbuat sesuatu yang nyata untuk membantu menyelesaikan masalah.

Cerita lainnya adalah ketika di lingkungan rumahku dulu pernah ada seorang anak perempuan usia SMP terbunuh saat dia di rumah sendirian siang hari sepulang sekolah. Kakaknya yang pada saat kejadian sedang bersekolah, dituduh polisi sebagai pembunuhnya. Saya merasa yakin bahwa kakaknya bukan pembunuhnya karena seorang tetangga pernah melihat seseorang bertubuh gempal bertamu ke rumah anak perempuan tersebut. Saking ber-empatinya sama anak laki-laki itu, masalahnya sampai terbawa mimpi. Sayapun terus berdo'a agar kebenaran segera terungkap. Pada akhirnya, saya ikut lega dan gembira ketika  anak laki-laki tersebut dibebaskan karena memiliki alibi yang kuat. Kalau tidak salah guru dan teman-temannya menyampaikan kesaksian bahwa pada saat kejadian, anak laki-laki tersebut sedang belajar di kelas.

Setelah dirunut ternyata banyak juga tindakan-tindakan saya yang lain yang menurut kebanyakan orang bukan menjadi tanggung jawab saya untuk mengatasinya. Karena terlalu dalam masuk kedalam permasalahan orang lain, membuat saya menjadi sangat rentan terhadap stress, susah tidur, mudah panik dan cemas.

Setelah disadarkan oleh teman saya bahwa saya cenderung berkepribadian emotional sponge maka saya mulai belajar menata dan mengendalikan emosi saya dengan cara membuat batasan kuat atas segala hal yang akan membuat saya memiliki emosi negatif. Saya belajar memilah dan memilih hal apa yang perlu dan layak untuk saya fikirkan. Sayapun menghindari membaca secara mendalam kejadian-kejadian tragis dan memilukan yang terajdi dalam berita-berita baik di televisi, media sosial dan media masa.

Secara berkala sayapun melakukan jeda terhadap layar hp, media sosial dan televisi. Saya mencoba menikmati alam terbuka, mengamati aktfitas sekitar rumah dan menghirup udara segar pagi dengan bersepeda.

Alhamdulillah, bertahun-tahun, secara perlahan-lahan, tingkat stress berkurang, penyakit lambung chronis mulai membaik, begitu pula insomnia mulai berkurang frekuensinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun