Mohon tunggu...
Kamalia Purbani
Kamalia Purbani Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Pemerintahan, Lingkungan Hidup dan Pemberdayaan Perempuan

Purnabakti PNS Pemerintah Kota Bandung. Terakhir menjabat Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan. Pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Pemberdayaan Perempuan, Kepala Kantor Litbang, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya, Kepala Bappeda, Inspektorat, Staf Ahli Walikota Bidang Teknologi Informasi, Asisten Daerah Pemerintahan dan Kesra

Selanjutnya

Tutup

Diary

Trauma Terjebak dalam Lift Macet

9 Mei 2023   09:37 Diperbarui: 9 Mei 2023   09:43 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Sebenarnya, insiden terjebak dalam lift di Indonesia, bukan hal yang baru; mungkin sudah ribuan kali terjadi. Namun akhir-akhir ini ada beberapa berita yang memprihatinkan terkait lift. Ada kasus lift di Bandara Kualanamu, dan baru saja muncul berita 13 orang pekerja dalam lift di Pakuwon Tower selama 2,5 jam. Beberapa waktu sebelumnya ada kasus terjebal lift di sebuah pasar, di Gedung DPR dan masih banyak kasus lainnya.

Berbagai sumber telah memberikan petunjuk, apa yang perlu dilakukan saat terjebak dalam lift, yaitu: Jangan panik, bersikap tenang, tidak memaksa membuka pintu lift dan gunakan fungsi tombol dan telepon darurat dan menunggu petugas Teknik datang.

Dalam prakteknya, saat insiden itu terjadi, sulit bagi kita (karena saya pernah mengalaminya) untuk melakukan petunjuk-petunjuk itu, apalagi ketika kita sendirian dalam lift macet tersebut. Selama perjalanan hidup, saya pernah mengalami beberapa kejadian kurang menyenangkan terkait lift, yang mengakibatkan sampai saat ini saya masih suka khawatir dan ragu saat mau mnggunakannya, terlebih saat saya sendirian. Dari beberapa kejadian mungkin ada tiga insiden tentang lift yang saya masih ingat secara detail.

Pengalaman pertama terjadi kalau tidak salah pada tahun 1997. Saat itu saya diundang seminar, workshop dan pameran terkait Mitigasi Bencana di sebuah hotel di Tijuana, sebuah kota di Mexico Utara yang letaknya tidak jauh dari San Diego, Amerika Serikat. Walaupun dari Kota Bandung diwakili oleh 3 delegasi (dua dari Pemerintah Kota dan satu dari perguruan tinggi), letak kamar kami tersebar, tidak dalam satu lantai.

Hari pertama dan kedua semua berjalan lancar. Hari ke 3, saat saya akan sarapan pagi, saya masuk ke dalam satu lift dan menekan tombol ke restoran. Lift tidak bergerak sama sekali. Saya tekan sekali lagi, masih belum bergerak. Saya mencoba menekan tombol buka pintu, masih diam. Keringat dingin mulai keluar dan saya mulai panik. Saat itu saya tidak terfikir untuk menekan tombol merah untuk keadaan darurat. Saya mencoba bersikap tenang dan berdo'a sambil memejamkan mata. Kemudian saya kembali tekan tombol buka. Alhamdulillah bisa terbuka. Saya pindah lift di depannya dan berfungsi baik. Saya menandai lift yang sebelumnya, agar tidak terjadi lagi insiden seperti kemarin. Sayangnya, lift yang kemarin berfungsi baik, ternyata sama juga kejadiannya seperti lift yang sudah saya tandai. Saya tidak terlalu panik karena tidak sendirian. Lift tidak bisa naik atau turun, namun setelah menunggu sebentar, tombol buka pintu lift bisa berfungsi.

Kejadian kedua terjadi di sebuah Gedung Diklat milik Pemerintah Prov Jabar pada tahun 2009 saat saya mengikuti Diklatpim selama tiga bulan. Gedung Diklat terdiri dari empat lantai, dan kelas tempat kami belajar ada di lantai 3. Dari awal naik lift saya merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Lift sering berhenti tidak pas pada lantai yang kita inginkan. Berpijak dari pengalaman kurang menyenangkan dengan lift, saya hampir tidak pernah menggunakan lift itu. Walau agak melelahkan saya lebih suka naik tangga. Di akhir minggu, ada kabar bahwa telah terjadi ada insiden, tiga orang rekan diklat saya yang berasal dari Indonesia Timur, terjebak lift hampir 3 jam dan karena panik mereka membuka paska lift dengan tenaga tangannya. Mereka lama untuk mendapatkan pertolongan karena teknisinya libur di akhir pekan.

Insiden ketiga yang masih segar di ingatan adalah pada tahun 2017 di sebuah Gedung Pemerintah milik Perguruan Tinggi. Sebetulnya saya jarang menggunakan lift di Gedung itu karena sudah mendengar rumor bahwa lift itu sering macet. Namun entah kenapa pagi itu saya menggunakannya. Bisa jadi karena barang bawaan saya agak berat, atau karena saat itu ada petugas kebersihan yang juga akan naik ke lantai 3 (dimana kegiatan akan berlangsung). Lift baru bergerak beberapa detik ketika saya mendengar seperti suara gesekan dan kemudian berhenti. Petugas kebersihan mencoba menenangkan saya, katanya: " sudah biasa begini". Dia mencoba mengotak atik beberapa tombol dan kemudian lift bergerak lagi dan beberapa detik berhenti lagi. Saya melihat dari celah-celah pintu, lift berhenti di antara dua lantai. Kepanikan tak bisa saya hindari, dan saya mulai mencari nomer-nomer telepon yang bisa saya hubungi. Saya berhasil menghubungi salah seorang staf di kantor dan meminta agar dia segera menghampiri ke lokasi saya. Saya tidak tahu lagi apa yang dilakukan oleh petugas itu tapi dia tetap mencoba menekan tombol-tombol. Lift bergerak lagi perlahan diiringi bunyi-bunyi yang menyeramkan, sebelum akhirnya sampai juga di lantai yang dituju dan pintu bisa dibuka. Saya hanya berada dalam lift macet sekitar 10-15 menit saja, namun sudah cukup membuat saya stress. Jantung saya berdetak kencang, nafas terasa sesak, keringit dingin bercucuran, tangan saya gemetar dan kepala saya seperti melayang.

Apa sebetulnya penyebab lift macet? Menurut berbagai sumber, terdapat beberapa penyebab lift macet diantaranya adalah: gangguan listrik, masalah teknis, kelebihan beban, gangguan pada pintu dan kurang pemeliharaan. Dari semua penyebab, muaranya terletak pada kurangnya pemeliharaan. Pada saat saya masih menjabat sebagai Kepala Disnaker, salah satu tugas saya adalah pembinaan dan pengawasan terkait  norma ketenagakerjaan dan norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pengelolaan Elevator dan Eskalator diatur secara rinci dalam  sebuah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan. Pengurus dan/atau Pengusaha Gedung wajib menerapkan syarat K3 Elevator dan Eskalator sesuai standar Nasional dan Internasional. Pengawas Ketenagakerjaan Spesialis K3 Listrik apalagi yang memiliki kompetensi di bidang Elevator dan Eskalator masih belum banyak jumlahnya dan belum seimbang dengan tumbuh pesatnya bangunan Gedung bertingkat yang menggunakan lift dan eskalator.

Tanpa bermaksud memojokan pihak manapun (saya sendiri pensiunan PNS), sampai saat ini saya masih sering merasa ragu kalau harus menggunakan lift, khususnya pada beberapa bangunan tinggi milik pemerintah di negara kita. Karena berbagai hal, bisa jadi pengawasan dan pemeliharaan lift masih banyak yang belum sesuai prosedur standar. Saya masih memerlukan terapi psikologis untuk bisa percaya diri dan yakin saat menggunakan lift sendirian. Kadang agak menghambat aktifitas, namun hsl itu merupakan sebuah kenyataan yang harus saya hadapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun