Hari Kartini baru saja diperingati. Ketika membicarakan Kartini, akan langsung terkoneksi dengan seorang tokoh yang berjuang untuk kesetaraan gender di Indonesia, utamanya dalam kesamaan akses terhadap pendidikan.Â
Tulisan saya kali ini akan membahas tentang Tantangan Aparatur Sipil Negara (ASN) Perempuan dalam berkarya optimal di ruang publik khususnya di pemerintah daerah berdasarkan pengalaman penulis mengabdi sebagai ASN lebih dari 30 tahun.
Gambaran Umum ASN Perempuan
Dalam Undang-Undang No: 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).Â
Pegawai ASN berfungsi sebagai: pelaksana kebijakan publik, pelayan publik dan perekat pemersatu bangsa. Adapun pegawai ASN bertugas untuk melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jabatan ASN terdiri dari: Jabatan Administrasi; Jabatan Fungsional dan Jabatan Pimpinan Tinggi.
Jumlah PNS perempuan menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2003, jumlah PNS perempuan adalah 1.475.720 orang, kemudian pada 2013 meningkat menjadi 2.102.197 orang.Â
Di sisi lain, jumlah PNS laki-laki tidak mengalami kenaikan berarti. Pada 2003 jumlah PNS laki-laki sebanyak 2.172.285 orang, lalu pada 2013 menjadi 2.260.608 orang.Â
Kondisi ini juga mendorong perubahan komposisi antara PNS laki-laki dan perempuan. Pada 2003, perbandingan antara PNS laki-laki dan perempuan adalah 59:41. Sedangkan pada 2013 jumlahnya hampir sejajar yakni 52:48.
Proporsi PNS perempuan di 34 kementerian menunjukkan angka yang relatif stabil pada kisaran 39 persen. Namun PNS perempuan yang menduduki jabatan eselon (1-5) hanya mencapai 22,38 persen pada periode 2011-2012 dan hanya meningkat menjadi 23,48 persen pada periode 2015-2016.
Pemerintah Pusat sebetulnya telah berupaya untuk mengatasi ketimpangan tersebut lewat sistem meritokrasi yang diregulasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 mengenai Aparatur Sipil Negara (UU ASN).Â
UU ini menerapkan sistem meritokrasi dalam perekrutan, pola karier, dan relasi kerja dalam birokrasi, untuk mengikis distorsi seperti senioritas, diskriminasi, favoritisme, dan stereotip negatif.Â