Di tengah persaingan bisnis properti yang kian ketat, PT Galuh Citarum tidak melupakan misi sosialnya. Selain membarikan santunan kepada anak yatim, PT Galuh Citarum masih memberikan bantuan berupa paket sembako untuk masyarakat di pedesaan.
"Hidup ini terlalu singkat jika kita tidak berkontribusi nyata untuk orang lain, jika belum bisa mencakup masyarakat luas, kita bisa mulai dari lingkungan sekitar. Intinya bagaimana kita bisa bermanfaat dulu,” tegas Amin Supriyadi Liu. Menurut pengusaha asli Karawang ini, aksi sosial senantiasa dilaksanakan secara reguler.
Penyerobotan Oleh Agung Podomoro
Kasus yang melibatkan Agung Podomoro di Karawang yang paling menyita perhatian publik adalah penyerobotan lahan seluas 350 hektar milik petani tiga desa, yakni Desa Wanasari, Desa Wanakerta, dan Desa Marga Mulya di Telukjambe Barat. Lahan ini yang paling diincar Agung Podomoro karena di sini hendak dibangun kawasan industri. Penyerobotan lahan di Telukjambe mungkin menjadi tragedi paling berdarah yang diciptakan Agung Podomoro. Berbagai upaya pencaplokan dilakukan, baik dengan cara halus berupa rekayasa hukum maupun dengan cara kekerasan, seperti eksekusi paksa yang melibatkan lebih dari 7.000 aparat kepolisian dari Polda Jawa Barat.
Pada 2012 lahan tersebut dicaplok PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) setelah perusahaan milik Trihatma Kusuma Haliman tersebut mengakuisisi 55% saham PT SAMP senilai Rp 216 miliar. Pada 24 Juni 2014, dengan mengerahkan sekitar 7.000 aparat kepolisian, atas putusan pengadilan yang sesat, Pengadilan Negeri Karawang mengeksekusi lahan warga yang mengakibtkan banyak warga terluka berat maupun ringan.
Di kemudian hari baru terungkap bahwa PT SAMP belum terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Karawang dan dinyatakan belum memiliki bukti kepemilikan yang sah yaitu sertifikat hak atas tanah di Telukjambe Barat. Karena itu, pembangunan papan reklame dan kantor pemasaran oleh APLN di Telukjambe Barat dianggap melawan hukum. Sebagai tindak lanjut maka pada September 2015 Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) Kabupaten Karawang menyegel papan reklame dan kantor pemasaran. Karena APLN terbukti belum menantongi IMB dari BPMPT. Untuk mengelabui publik, APLN kemudian mengganti nama PT SAMP yang bermasalah dengan PT baru bernama PT Buana Makmur Indah (PT BMI).
Sampai sekarang, PT BMI terus melakukan pembangunan tanpa melengkapi izin. Kabid PPUD Satpol PP Agus Mufti mengatakan, pasal yang dilanggar oleh BMI adalah Perda Nomor 8 Tahun 2013 Pasal 62 yang menyatakan wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan negara diancam pidana kurungan paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak 3 kali jumlah retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
PT BMI juga melanggar Perda Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 88 Poin a yang menyatakan pembangunan dan atau prasarana bangunan gedung wajib mengajukan IMB pada Bupati untuk melaksanakan kegiatan. “Perusahaan itu (BMI/APLN) belum memiliki IMB tetapi sudah melaksanakan kegiatan,” tuturnya. BMI juga belum memiliki izin lingkungan sesuai UU 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Berkaitan dengan penerbitan perizinan, maka jika belum memiliki izin lingkungan semua izin tidak boleh dikeluarkan.
Ulasan di atas kiranya bisa menjawab pertanyaan, siapa sesungguhnya mafia tanah di Karawang. Silakan publik menilai pengusaha dan perusahaan yang membangun kerajaan bisnisnya dengan menghalalkan segala cara dan pengusaha yang membangun usaha dengan mengedepankan etika dan prinsip kemanusiaan. Akhirnya sejarah yang akan mencatat, siapa yang menuai angin, dia yang menuai badai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H