Mohon tunggu...
Kalyana Tantri
Kalyana Tantri Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya adalah insan dalam pengembaraan mencari kesempurnaan sejati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tumbal Cinta

20 Agustus 2014   07:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:05 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tempo hari, di penghujung sore yang disapa lembut oleh gerimis, saya kedatangan tamu, saudara jauh dari ibu. Sepasang suami istri beserta tiga orang puteranya. Silaturahmi biasa, mumpung masih suasana lebaran. Obrolan kami sangat renyah sore itu, serenyah sajian makanan kecil di meja, sisa lebaran dan hangat layaknya teh dalam cangkir yang saya sajikan. Hmm, ada yang beda dari sang istri tamu saya. Si mbak kok sekarang cablak, dominan dalam obrolan, sangat berbeda dengan si mbak yang saya kenal pada kunjungan tahun terdahulu ( dua tahun kemarin ga ketemu ). Dulu lebih pendiam, pemalu, bahkan untuk sedikit tersenyum saja pasti sambil menunduk dan menutup mulutnya dengan ujung kerudung. Pikir saya, mungkin karena pulang dari negeri seberang setelah masa kontraknya sebagai TKW, pergaulannya semakin luas, menjadikan dia lebih Pe De, supel, dll. Akh, itu tidak penting, malah saya asyik dengannya yang sekarang, ngobrol jadi makin seru walau kadang ada sedikit yang kurang nyambung. Wajar, suasana rumah gaduh, mungkin pendengaran kami jadi sedikit sukar merespon dan menyensor antara percakapan kami vs hiruk pikuknya suara anak-anak.


Malam tiba, ibu menghampiri saya, membuka obrolan seputar tamu saya sore ini. Terkejut, ibu menyampaikan bahwa si mbak tadi mengalami gangguan jiwa. Wadoooow, hahaha, jadi tadi bagaimana nasib obrolan saya ?? Bahkan saya merasa asyik, dan seru. Jangan-jangan saya.....................

Hahaha, jangan-jangan saya juga masuk kategori "rada terganggu" habis klop sih ngobrolnya. Haahh, daripada sibuk memikirkan hal tsb, saya lebih tertarik bertanya pada ibu, mengapa bisa terjadi demikian ?. Menurut ibu, si mbak memutuskan pergi mengadu nasib ke negeri jiran untuk menyelamatkan ekonomi keluarga yang porak-poranda diterjang badai perjudian suaminya. Dan...sekembalinya si mbak dari seberang dia mendapatkan kabar bahwa sang suami ber haha hehe dengan seorang wanita dari desa sebelah.


Nyesek...Cinta, lagi-lagi cinta, hal yang tak akan pernah habis untuk menjadi sebuah topik bahasan. Mencintai, barangkali adalah takdir Tuhan,sedang luka dan bahagia adalah dua anak yang di lahirkan. Hmm, ironi memang, ketika seseorang mendapatkan hati Anda, kemudian berjanji tuk merawatnya tapi mengembalikannya dalam keadaan terluka. Mestinya si mbak pantas mendapatkan sebuah cinta layaknya bayangan rumpun bambu yang jatuh di permukaan sungai, meneduhkan kawanan kijang setiapkali hendak menyeberang. Ya, cinta yang teduh dan menenteramkan.


Hal ini mengingatkan pada sebuah kisah percintaan yang ditulis oleh mbak Sri Sulandari. Seperti ini kisahnya.....

Matahari belum tampakkan wajah saat kuarahkan langkahku menuju kotamu. Sepenuh hasrat kukayuh sepedaku menyusuri setiap jalan yang pernah kita lewati. Kubungkus tubuh gontaiku dengan selendang pelangi, yang dengan setia menemani hariku, melewatkan detik detik saat bersamamu. Segenggam melati dalam untaian indah terselip diantara urai rambutku.

Sesekali aku berhenti, mengamati jejak yang pernah kita tinggalkan, mengamati tanda yang masih tersisa. Sapuan gigil angin pagi menyapu wajah membuatku tergeragap dalam tegun, mengatasi resah yang tiba tiba melintas. Semoga saja masih sama, berkali kata ini mendesis dari bibirku yang terus saja menggeletar dalam cemas yang puncak. Segera kulaju sepedaku, aku tak ingin keduluan matahari, aku harus segera sampai ke kotamu. menjumpaimu.

Pada sebuah kelokan aku berhenti, melepas penat yang tiba tiba menguasai punggungku. Nafas begitu sengal, sesak, oleh segumpal angan yang sudah berhari ini tak juga menguap dari benakku, aku harus menjumpaimu.Kutaruh lunglai tubuhku pada selembar tikar, di sebuah warung yang masih sepi.

Segelas kopi tak begitu kental tak begitu pahit segera kuseruput sepenuh hikmat. “Aku tak suka kopi”, ujarmu kala itu.

Kembali ingatan dipenuhi oleh sosokmu.

Matahari sudah sepenggal saat aku sampai di kotamu, hangat sinarnya segera menyelinap memenuhi poriku. Kuarahkan sepedaku pada sebuah taman kecil di seberang jembatan kuning. Di taman itu pertama kali kami bertemu dan mengikat janji, menautkan hati dalam kasih. Di taman itu pula kami selalu bertemu melabuhkan rindu yang tak kunjung usai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun