Pada sebuah bangku kayu. Dari jauh kulihat sosokmu, sosok yang begitu perkasa dan penuh kasih. Aroma tubuh yang begitu kukenal, desah nafas yang begitu hangat segera menyergap seluruh jiwaku. Segera kuhamburkan tubuh dan jiwaku menujumu, Ribuan kata terlontar tertumpah dari mulutku, gemanya segera memenuhi taman yang masih sunyi. Kurasakan tubuhku begitu hangat oleh kerinduan yang meletup letup. terasa ringan selaksa kupu kupu yang menari dengan gemulainya. Sepenuh hasrat kukepakkan sayapku, kupamerkan keindahan dan kemolekan tubuhku yang penuh harum melati.
“Duh Gusti, eman temen, bocah ayu ayu kok gemblung, kawit mau guneman dhewe” (Duh Gusti, sayang banget bocah ayu kok gila, dari tadi bicara sendiri) Sekelompok perempuan paruh baya melintas dalam gumam dan tatapan penuh heran kepadaku.
Lunglai kuambil sepedaku, rasa sesak yang perih segera memenuhi dadaku. Kuusap mata dan wajah yang sudah dipenuhi panas yang membanjir. Gontai ayun langkah, kukayuh sepeda kembali ke kotaku.
Kubiarkan angan mengembara dalam kekosongan yang begitu menyembilu. Bibir terus bersenandung dalam kidung rindu yang terlantun sepanjang kayuhan.”Yen ing tawang ana lintang, cah ayu…aku ngenteni tekamu..” Senandung itu terus saja membahana di jiwaku. Ya, akan senantiasa kutunggu lintang itu, sebagai tanda kau pun merinduku, menungguku. Aku dengan selendang pelangi dan wangi melati akan kembali menuju taman itu, Di sudut kotamu.
*** Doa saya, semoga yang kau rasa sakit bukanlah luka, melainkan pelajaran untuk menghadapi masa depan yang lebih baik. Aamiin..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H