"Orang berkata kami punya maksud baik, dan kita bertanya maksud baik saudara untuk siapa ?" - meminjam puisi legend WS. Rendra terkait polemik kebijakan Full day School atau sekolah 8 jam sehari yang kini menuai pro kontra. Nampaknya titik permasalahannya ada diseputar "maksud baik".
Dalam hitungan minggu setelah Prof. Dr. Muhadjir Effendy. M.A.P menjabat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan, Juli 2016 silam. Banyak media mewartakan Muhadjir berkeinginan untuk menambah jam belajar di sekolah menjadi satu hari penuh. Alasannya sederhana, saat pulang sekolah anak sering tidak menjumpai orang tuanya dirumah, karena orang tua dari si-anak tersebut bekerja 8 jam dalam sehari. Ketidakhadiran pendamping dirumah, membuat si anak merasa kesepian sehingga dikhawatirkan melakukan berbagai penyimpangan. Inilah salah satu problem yang dilihat atau mungkin pernah dialaminya, sehingga beliau berkeinginan menyamakan waktu pulang sekolah dengan jam kerja karyawan pada umumnya.
Rencananya kebijakan ini akan segera dilakasanakan secara bertahap mulai tahun ajaran baru 2017/2018. Berbagai alasan lain pun disiapkan menopang kebijakan ini. Sebutlah dengan (1); Penguatan Pendidikan Karakter; (2) penggabungan intrantrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler; (3) pengintegrasian pendidikan agama; (4) Dan lainnya yang akan segera menyusul.
Hal dominan yang saat ini hangat didiskusikan mengenai guru sebagai tenaga pengajar atau dikaryawankan untuk mengajar. Hal ini disinggung terkait dengan gaji, tunjangan dan jam kerja guru yaang dirasa amat singkat.
Dalam Undang-undang nomer 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, beban kerja guru minimal 24 jam tatap muka di kelas dalam seminggu. Atau dalam hitungan sederhana, 4 jam/6 hari atau 4,8 jam/ 5 hari. Namun menurut Muhadjir, pada prakteknya banyak guru yang tidak bisa memenuhi. Khususnya pada pelajaran yang memiliki jam belajar sedikit seperti sejarah, sosiologi, antropologi, bahasa asing, agama, dan lainnya. Hal inilah yang membuat guru tidak layak mendapatkan tunjangan, karena memiliki dasar hukum berbeda. Muhadjir pun menambahkan, tidak terserapnya tunjangan profesi guru mengakibatkan Silpa (sisa penggunaan anggaran) yang cukup besar setiap tahunnya.
Solusi Mendikbud dengan mengeneralisasi beban kerja guru mengikuti standar kerja ASN (aparatur sipil negara) yakni 40 jam dalam sepekan, atau 8 jam/ 5 hari diharapkan mampu menyamakan hak guru dengan ASN dan pekerja industri lainnya.
Interupsi, Pak Menteri
Jika masalahnya ada pada guru yang sulit mencapai target seperti tertuang di UU Dosen dan Guru. Mengapa yang ditinjau bukan peraturannya. Setidaknya kita bisa melakukan revisi peraturan yang membebankan tatap muka guru 24 jam dalam seminggu. Sehingga kesejahteraan guru dapat terlindungi. Menjadi hal lucu, ketika ada pos anggaran untuk tunjangan guru tidak dapat diberikan karena tidak memenuhi standar. Justru karena tidak adanya tunjangan itulah, banyak guru saat ini menjadi tukang ojek atau terpaksa menjual ilmunya, mati-matian memeras keringat di tempat-tempat lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun Pak Menteri dengan entengnya bicara bahwa guru model seperti ini tidak fokus mengajar.
Pertanyaan besar yang mungkin harus dilontarkan, untuk siapa tunjangan profesi guru diberikan. Apakah hanya untuk aparatur sipil negara. Lantas bagaimana nasib guru honerer dan guru swata lainnya yang secara fungsional tidak masuk UU ASN. Kesenjangan akut ini saja belum bisa diselesaikan, mengapa mau membuat kesenjangan baru.
Hemat kami, Pemerintahlah justru yang kurang fokus dalam memeratakan pendidikan di Indonesia. Banyaknya laporan bangunan sekolah yang hancur dan tak terbangun kembali. Sulitnya medan dan akses tempuh ke sekolah. Hingga komersilisasi pendidikan kian meroket membuat banyak anak putus sekolah. Jangan kita tunjuk daerah perbatasan sebagai contohnya, di wilayah penyangga ibu kota saja masih banyak kita temui yang seperti itu. Pemerintah justru harus banyak belajar dari guru, bukan sebaliknya menggurui guru.
Maksud Baik Buat Siapa
Sekolah di kota memiliki akses transportasi yang sudah memadai, sarana pra sarana sekolah yang mencukupi, serta orang tua yang memiliki kemampuan finansial. Itu tidak bisa dianggap sama dengan penyelenggaraan sekolah di pedalaman yang kondisinya mungkin bertolak belakang dengan wilayah perkotaan. Hal yang mungkin perlu diingat, Indonesia bukan sebatas Jakarta, Surabaya, Makasar, Medan, dan kota besar lainnya. Indonesia memiliki 74.053 desa yang juga menyelengarakan pendidikan. Jadi rasanya tidak bisa melihat pendidikan hanya dari satu sudut pandang.
Jikalau kebijakan Full day School atau sekolah 8 jam sehari diterapkan secara nasional, akan ada 50 juta anak terdampak. Mungkinkah kebijakan ini telah mempertimbangkan dampak psikologis beban siswa. Adakah dilibatkannya dan terakomodirnya kepentingan siswa terkait hal ini. Jangan sampai kita hanya memaksakan keinginan orang dewasa tanpa melibatkan subjek yang bersangkutan.
Kiranya menarik yang dikatakan om Dandhy Dwi Laksono dalam sosial medianya, bahwa sistem pendidikan makin jauh menyeret anak-anak dalam bias kepentingan orang dewasa (pekerja industri). Anak-anak terus digiring sesuai kebutuhan pasar kerja. Rasanya sekolah bagaikan sebuah bengkel, dimana anak-anak dicetak masal untuk menjadi tenaga siap pakai, yang ujung-ujungnya mengokohkan kedudukan kapitalis dan kelas berkuasa. Memangnya pendidikan diselenggarakan untuk alat pembebasan atau alat penindasan. Lantas jika situasi seperti ini, wajiblah kita bertanya maksud baik saudara untuk siapa. Maksud baik saudara memihak yang mana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H