Kalau keadilan terasa, maka kemarahan tidak akan timbul. Kalau saluran hukum dan politik berjalan baik, maka tidak akan ada demonstrasi massa. Dan kalau politik, hukum, dan keadilan membeku, maka rakyat akan bergerak mencari kebenaran dengan caranya.
Pemerintah Republik Indonesia harus banyak-banyak bercermin atas akan adanya aksi unjuk rasa sejuta umat “bela islam” pada 4 november tahun ini. Pasalnya, jalan demokrasi yang melibatkan banyak “massa aksi” tidak dapat diprediksikan. Tidak ada yang bisa menjamin terhadap kontrol kendali di lapangan sesuai dengan konsep rencana aksi, karena apa yang terjadi di lapangan acap kali berjalan sporadis dan spontanitas.
Belakangan ini suhu politik memanas. Banyak orang tidak lagi mengakui hukum sebagai panglima tertinggi dari keadilan. Rakyat jenuh dengan prilaku penegak hukum yang memakai hukum untuk mempermainkan hingga melukai rakyat. Namun, tulisan ini akan sangat subjektif kalau hanya membahas prilaku penegak hukum, karena baik hukum maupun aparat hukum sejatinya lahir sebagai produk politik. Maka dari itu, kalau tata hukum di Republik ini sedang membeku, maka pantaslah gerakan politik rakyat yang datang untuk menghangatinya – agar mencair dan kemudian dapat menjebol bagian-bagian tersumbat dari hukum dan politik tersebut. Akan tetapi, menjadi subjektif pula kalau pikiran kita hanya tertuang penuh pada aksi rakyat di 4 november ini dan melupakan aksi-aksi rakyat lainnya – yang sekarang, kemarin, ataupun yang dulu-dulu.
Dalam sitem politik Indonesia terdapat banyak saluran aspirasi, namun mengapa kiranya selama ini rakyat dibiarkan berjuang sendirian. Kiranya jarang sekali suprastuktur politik berjalan sesuai kehendak rakyat. Coba kita renungkan. Mengapa sejak reformasi, pembangunan infrastruktur kita menjadi lambat bahkan sering ditentang – yang kemudian malah melahirkan konflik vertical dengan masyarakat. Sebagai contoh, di Bali ada gerakan rakyat yang sudah 2 tahun lebih berjalan. Masyarakat menolak sebuah perencanaan pembangunan mega proyek yang dipandang banyak menimbulkan dampak luas bagi masa depan Bali. Ironisnya, dari sekian banyak pergelaran dan event-event di Bali, bahkan sampai rapat kerja dan kongres partai-partai politik nasional, tak ada yang menangkap dan berpihak pada aspirasi ini, ataupun paling tidak menjadi bahasan tersendiri diatas meja kerja mereka. Mengapa harus membiarkan rakyat berjuang sendirian di jalan.
Mereka yang tak mendapat saluran politik yang baik, akan dengan sendirinya mencari kebenaran dan keadilan dengan caranya sendiri. Politik memang tidak dapat menyelesaikan semua masalah, namun ia harus mampu menjadi penampung dari seluruh aspirasi rakyat. Kalau politik tidak mampu menyerap berbagai aspirasi maka anarkislah yang akan terjadi. Tapi Bung harus mencatat, demokrasi tidak selalu dilihat dengan semakin banyaknya orang bicara dan semakin banyak orang yang berdemonstrasi.
Hantu modern
Politik sekarang sangat dipengaruhi media sosial. Tak jarang bermunculan akun-akun bodong yang sering mentweet kebencian, fitnah, sampai adu domba. Hingga seakan-akan kita kembali dalam masa perang. Sungguh rasanya media sosial kini bagai arena tempur yang menyita banyak emosi. Media sosial bagai hantu modern yang menggoda cara berfikir manusia modern. rasanya kita harus memproteksi segala kemungkinan dampak buruk dari media sosial agar tidak menjadi unsur pemecah belah persatuan.
Sebagai pilar demokrasi, media kini menjadi ujung anak panahnya. Namun yang sangat disayangkan, saat ini banyak media tersandra menjadi alat agitasi dan propaganda politik praktis sehingga melahirkan berita-berita yang menyudutkan suatu pihak tertentu. Kita lihat ketika 14 oktober lalu, ketika unjuk rasa oleh sebagian umat islam ibu kota, hampir seluruh media nasional rata-rata mengambil angel/ sudut pandang lain dan malah membuat kesan menyudutkan aksi rakyat tersebut. Kalau media sudah tidak lagi dipercaya rakyat, lalu kemana dan harus bagaimana rakyat menyampaikan aspirasi politiknya.
Aksi damai, 4 November 2016
Oke, sebagai penutup nih ogut pakai bahasa yang lebih santai. Terkait aksi sejuta umat “bela islam” jum’at besok. Pertama ogut agak kurang sepakat dengan tema “Aksi Bela Islam” atau “Aksi Tangkap Ahok” ekstreem banget, ogut menilai – islam ngak perlu dibela, malah sebaliknya islam pasti akan membela umatnya, bahkan yang bukan umatnya sekalipun, karena sifatnya rahmatan lil'alamin.
Ogut lebih sepakat bahwa ini lebih pada ranah hukum. Saatnya kita selamatkan institusi penegak hukum agar independent sesuai marwahnya. Disaat yang sama kita juga mendidik pemerintah agar membenahi saluran-saluran politik yang tersumbat. Dan juga kepada awak media massa agar tak lagi menutup dan memelintir aspirasi rakyat.
Terakhir, pesan ogut pada TNI/ Polri agar jangan berlebih dalam menangani aksi rakyat tersebut. Baiknya kita jangan hanya focus pada Jakarta, sebab Indonesia bukan hanya Jakarta dan pilkada yang akan berlangsung bukan hanya di Jakarta. Ancaman tak terduga bisa terjadi dari hal-hal yang luput dari hitungan.
Mari kita tutup tahun 2016 ini dengan damai, tanpa adanya air mata dan pertumpahan darah sesama anak bangsa. Jangan lagi rakyat dibiarkan berjuang sendirian, mencari keadilan sendirian. Dalam aksi massa nanti rakyat akan memberi pelajaran pada 3 lembaga, yakni: Pemerintah, Hukum dan Media yang saat ini berhasil menggiring opini publik dengan mempersalahkan "aksi massa-nya saja" tanpa mendorong penegakan hukum dan sebab dari terjadinya aksi massa tersebut. Ya, sebab - akibatlah ya. Biar adil, berimbang, dan damai. Oke ya, ya, salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H