Mohon tunggu...
Dhimas Kaliwattu
Dhimas Kaliwattu Mohon Tunggu... -

indonesia jaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengunyah Kembali Pendidik-(an) Kita

2 Mei 2015   23:26 Diperbarui: 3 November 2016   11:00 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cita rasa dunia pendidikan yang di suguhkan untuk kita hari ini terasa begitu hambar. Dari berubahnya takaran, resep, hingga adanya pengurangan bumbu-bumbu orientalis membuat pendidikan kita berubah bentuk dari warna dan rasanya. Pendidikan kita begitu dingin hingga membuat lidah menjadi cepat ngilu dan kaku.

Permasalahannya mulai dari mahalnya biaya pendidikan hingga tidak jelasnya model dan arah pendidikan yang kini di selenggarakan. Pendidikan kita terbang tinggi – meroket sendirian – menginggalkan anak-anak yang ingin meraihnya. Tercatat masih ada jutaan anak Indonesia yang tidak mampu untuk duduk di bangku sekolah formal, hingga kecerdasan dan daya imajinatifnya secara umum dikatakan berada di bawah rata-rata.

Pendidikan kita yang sekarang sangat jauh pergi nilai-nilai ketimuran. Moralitas dan kebijaksanaannya menurun drastis, sangat drastis! Dari survey litbang kompas banyak yang mengeluhkan bahwa anak sekarang ternyata susah diatur, sangat mudah membangkang orang tuanya, serta sudah tidak memiliki lagi rasa hormat kepada yang lebih tua. (hal yang sama dilakukan oleh anak-anak di dunia barat)

Plato mengatakan, hadirnya pendidikan sebagai institusi formal adalah karena ketidak mampuan orang tua/keluarga dalam mendidik anaknya, maka dari itu orang tua menitipkan anaknya pada institusi pendidikan. Institusi pendidikan diharapkan dapat menggantikan peran keluarga yang sudah menyerah dalam membentuk moral dan intelektual anaknya.
Jika kita hubungkan dengan kasus-kasus diatas harus kita akui, saat ini tengah berlangsung pemerosotan moral dalam dunia pendidikan kita. Sedangkan Pemerintah yang kita amanatkan untuk menyediakan dan mengatur pendidikan malah sibuk dengan persamalahan di sekitaran kurikulum dan kooptasi-kooptasi administrasi lainnya yang menyulitkan dirinya sendiri.

Peran guru
Kesejahteraan guru masih jauh dari harapan. Banyak guru yang paginya mengajar – sore ngojek – malam berjualan, sehari-harinya bahkan sudah puluhan tahun melakoni kegiatan tersebut. Pendidik sering kehabisan waktu untuk belajar dan mengembangkan pemikirannya, sehingga seorang pendidik dalam menyampaikan pelajaran hanya bersifat intuitif, yang itu-itu saja menurut kebiasaannya. Sikap pendidik yang tidak kreatif sangat mempengaruhi semangat belajar yang didiknya.
Sebab, pendidik yang berwarna merah akan membentuk anak didiknya yang berwarna merah. Pendidik yang sifatnya hitam akan membentuk pola pikir yang hitam pada anak didiknya. Pendidik yang rajin akan membentuk anak didiknya yang rajin. Begitu pula dengan pendidik yang prematur akan membentuk anak didik yang prematur. Demikian besarnya peran pendidik/ guru dalam membentuk peserta didik. Jadi, keutamaan yang harus dilakukan selain menjamin kesejahteraan guru dan keluarga guru adalah membentuk guru itu terlebih dahulu.

Dalam rangka mengisi ruang-ruang kemerdekaan dan masa pembangunan indonesia, maka harus di lipat gandakanlah semangat juang si-guru tersebut. Guru harus memahami api sejarah perjuangan bangsanya, guru harus memahami kebesaran peradaban dunia timur, sehingga mengetahui tantangan kedepannya serta sadar sedang di posisi manakah saat ini dia berada. Guru yang seperti itu tentu akan terlihat berbeda dengan kebanyakan guru lainnya.
Spesialisasi guru memang penting, namun tanpa melakukan garis-garis besar diatas terlebih dahulu sulit bagi kita untuk dapat menghargai setiap jengkal tanah yang kita injak dan setiap air yang kita minum. Pendidik kita harus dibekali dengan iman dan ilmu yang kemudian mengamalkan dengan ikhlas pada didiknya. Guru harus berupaya agar anak yang di-didiknya lebih pintar dan lebih hebat dari dirinya.

Disamping telah banyaknya anak indonesia yang mendapatkan penghargaan internasional di bidang sains dan teknologi, rasanya bangsa ini harus menengok kembali konsep belajar gotong royong, sebagai perasan pancasila. Sebab, yang menjadi tolak ukur kemajuan pendidikan bukanlah berapa jumlah penghargaan yang didapat melainkan adalah pemerataan pendidikan dari Merauke ke Sabang. SELAMAT HARI PENDIDIKAN. (NDEE)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun