Aku berlari terus berlari. Mencari ujung pintu yang sempat kulewati. Semakin lama, semakin terasa mencekat. Pekatnya begitu menyesakkan jiwa. Begitu merenggut relung sukma. Hingga, berada pada titik kekacauan dalam pikiran yang menderu melesak keluar.
Akhirnya, tubuhku terkulai lemas pada hamparan pasir. Terbaring menatap ke atas dimensi. Rasanya sunyi tak berpenghuni. Lambat laun, memori kala dunia waktu yang menjerat mulai terputar dalam benak. Begitu pun pertemuan singkat dengan kekosongan beberapa masa lalu. Air mataku mulai menetes di pelupuk mata. Lalu, kemudian deras bersama rinai hujan yang membasahi pipi.Â
Kenang-kenang yang kukenang, lebih mengenang. Hasrat jiwa lebih hidup pada dimensi waktu. Dan dimensi pegasingan diri beberapa masa lalu. Bukan disini, di tempat yang tak kuketahui. Bukan disini, di tempat yang tak bernama ini. Bukan disini, di tempat keabadian ini. Rasanya, sunyi sepi kian mencekat dalam jiwa. Bingung ingin melakukan apa. Bingung ingin bercerita dan bertukar rasa dengan siapa?
Lalu, kurogoh saku bajuku. Kuambil secarik kertas dan pulpen untuk melampiaskan rasa yang mencekat. Biar kutuliskannya dengan himpunan kata-kata dari awal. Awal perjalanan yang terbilang nekat, yang akhirnya malah mencekat. Awal niat tuk bersenang-senang, malah melipur kenang-kenang.
Walau ku tak tahu, siapa yang nantinya akan menemukan kertas ini? Mungkin akan dikira sebagai kata-kata tak bernyawa. Walau, nantinya mungkin kata-kata ini juga akan jadi sampah. Tapi, niatku bercerita tak akan ku tepiskan. Biar saja, menjadi saksi bisu pada pengembaraan tak berujung yang telah ku jalani.
Pada kata-kata yang tertera secara rancu, biar kuberi pesan pada kertas kusut yang terlipat lumat dalam saku. Pada kata-kata yang mengandung butut, biar kuberi kau perlindungan agar kelak tak menjadi usang yang berkelut. Biar menjadi pesan bagi mereka yang sempat menemukan. Dan mau menghabiskan masa untuk membacamu.
"Egosentris dalam jiwaku sudah dalam penghujung hingga membelenggu pilihan. Pikiran logis yang tadinya jernih dalam otak menjadi kabur. Sebab, tiada sirat arti yang tercerna. Pada kata-kata basi yang kutulis dengan pena biru, jangan biarkan sang tuan lari dari kenyataan. Lari dari jerat waktu, hanya tuk mencari kesenangan. Yang kini, ku tahu, bahwa kesenangan yang abadi itu akan berujung pada kehampaan yang mencekat. Jika tak ada yang bisa diajak untuk bersenang-senang. Dan, hanya bisa dirasakan oleh diri sendiri. Itu hanya kesenangan sementara yang ujung-ujungnya tak memuaskan hati. Demikian kuceritakan pada sekelumit kata-kata yang tak memiliki nyawa! Namun, mampu memberi bekas jejak keberadaan tentang Aku. Aku Si Pengelana Bodoh!"
Kini, jasadku tak tahu sampai kapan akan bertahan. Pada dimensi yang tak berujung dan tak terikat waktu ini. Semuanya kuserahkan pada alam dimensi. Kini, diriku hanya melipur lara kepiluan dalam hati. Mengisi masa yang fana bersama hamparan pasir. Bersama dengan senja oranye bergaris merah pada cakrawala. Turut serta desiran ombak putih yang membisik pilu dalam kesepian. Bersama dengan ini, aku terus hidup terjerat bersama kenang-kenang yang mengenang. Keabadian yang tak berujung dan tak terbatas ini, hanya menjadi malapetaka bagi diriku yang tak miliki kuasa.Â
Ku sudahi sampai di sini!
tayang di penakota.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H