"Masak, ya Masako!"Â
Slogan Ajinomoto Masako ini memang pas banget. Bagi kami sekeluarga yang jarang sekali menggunakan garam dalam masakan, Masako adalah penyelamat rasa. Rasa Masako yang gurih terkadang membuat saya suka sekali mencolek Masako dari kemasannya ketika saya masih kecil dulu. Di masa sekarang ini -- di mana manusia modern mencintai segala hal yang praktis, Masako adalah peralatan perang yang cocok banget. Selain ukurannya yang beragam, Masako juga mudah sekali ditemukan di warung-warung kecil. Masako yang cocok dengan berbagai macam masakan ini, telah menyelamatkan saya di depan calon mertua saya.
Memiliki seorang ibu yang pandai memasak memang sangat menyenangkan lantaran kami -- saya dan adik saya -- tidak perlu menderita dengan tumbuh bersama makanan yang tidak sedap. Hanya saja, keahlian ibu saya itu menjadi kelemahan bagi saya karena saya kini menjadi seorang wanita yang malas sekali memasak. Mohon dicatat, malas memasak. Entah kenapa saya cukup yakin bahwa saya bisa memasak hanya saja, niat untuk melakukan itu saja yang tidak pernah kunjung datang.
Ketika itu rumah saya sepi karena orang tua saya sedang mudik ke kampung halaman. Saya yang hari itu sedang libur berbaring seharian setelah sibuk merapikan rumah sepanjang pagi. Saya lapar sekali kali itu namun tidak terlalu ragu untuk memasak. Namun, karena bosan berbaring seharian akhirnya saya memutuskan untuk berbelanja dan berkesperimen sendiri. Saya hanya berharap masakan saya hari itu tidak berakhir dengan wajan yang gosong karena kelalaian saya.
Singkat cerita, siang hari setelah belanja saya memutuskan untuk mengeksekusi masakan saya. Hanya masakan sederhana memang, tapi baru kali itu saya memasak tanpa didampingi ibu saya.
"Udah makan belum dek?" sebuah pesan singkat dari kakang mas pacar mampir di ponsel saya.
"Aku lagi masak."
"Mau."
"Ambil ke sini."
"Buat papa mama aku juga ya."
Waduh. Seketika tangan berhenti memotong bumbu masak dan keringat dingin bercucuran. Saya menggigit bibir lalu membalas, "Kalau hasilnya oke, boleh aja."