Mohon tunggu...
Maria Kalista
Maria Kalista Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Amatir di Dunia Kepenulisan

Lahir dan tumbuh dewasa di Bekasi. Kini saya adalah seorang karyawan di perusahaan swasta dan menulis untuk menyalurkan kepenatan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dilema Pemuda: Budaya Dikte yang Mematikan Kretifitas vs Biar yang Muda yang Berkarya

28 Oktober 2016   16:55 Diperbarui: 28 Oktober 2016   17:11 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Beri aku seribu orang tua, maka akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia," kutipan menggebu dari Ir. Soekarno ini memang viral di dunia maya. Dalam kutipan ini, kita dapat melihat betapa dahsyatnya kekuatan pemuda di mata beliau. Pemuda yang kreatif dan inovatif dipercaya dapat mengubah dunia dengan cara yang luar biasa. Mengapa bukan orang tua yang berpengalaman dan berpengetahuan saja yang dimanfaatkan untuk membuat perubahan?

Anies Baswedan pernah berkata, "Anak muda memang minim pengalaman, maka ia tidak menawarkan masa lalu melainkan masa depan."

Yup, anak muda yang minim pengalaman dan pengetahuan jika dibandingkan dengan orang tua memang hanya berani menawarkan masa depan karena dengan bermodalkan semangat menggebu, pemuda yang minim pengalaman akan memikirkan berbagai cara untuk keluar dari suatu masalah dengan caranya sendiri yang otentik. Anak muda yang belum mengenal banyak kata gagal dan jatuh, cenderung lebih berani mengambil resiko ketimbang orang tua yang sudah sering makan asam garam. Di tangan pemuda, pengalaman jatuh hanyalah suatu pegangan untuk tidak berjalan ke arah lubang yang sama dengan cara yang sama. Apakah se-simple itu? Tidak. Mirisnya, tidak banyak orang tua yang dapat mempercayai pemuda untuk menuntun perubahan.

Dewasa ini, berita yang bermunculan tentang pemuda sungguh memprihatinkan. Murid yang mengadukan bahkan memenjarakan gurunya lantaran beberapa cubitan, foto-foto kelulusan yang membuat netizen mengelus dada dan menggelengkan kepala, bullying akibat sinetron yang mempertontonkan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh para siswa di dunia nyata, dan banyak lagi. "Kalau begitu, bagaimana kami bisa mempercayai pemuda untuk membawa perubahan positif?" tak ayal, berita-berita tersebut membuat pemikiran semacam ini melintasi benak kita.

Eits, jangan skeptis dulu. Pernah dengar istilah, "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga."? Yang saya sebutkan di atas hanya nila-nya saja loh. Bagaimana dengan susunya? Tepat sekali. Lantaran terlalu banyak berita negatif yang bermunculan tentang kaum muda, banyak dari kita yang tidak sempat merasa bangga terhadap prestasi pemuda pemudi Indonesia. Contohnya seperti STMIK AMIKOM Yogyakarta memproduksi film animasi keren berjudul Battle Of Surabaya dan mendapat sokongan dana dari Disney, Salman Trisnadi Wajrasena dan masih duduk di kelas 1 SD Prestasi Global yang menjuarai lomba robotic internasional di Korea Selatan pada 5-9 Agustus 2015 lalu (wow, kelas 1 SD), 11 medali yang berhasil disabet dalam ajang karate internasional The 29th Coupe International De Kayle dan masih banyak lagi. Hebat bukan? Sayangnya, birokrasi yang ribet, kurangnya biaya penelitian dan support lainnya membuat orang-orang hebat itu lebih memilih berkarya di luar negeri di mana prestasi mereka lebih diakui sehingga menyisakan anak-anak muda dunia maya yang hanya mampu mengkritik dan nyinyir.

Kendala lainnya adalah sistem pendidikan di Indonesia yang seragam dan juga cenderung membentuk hasil yang standard serta itu-itu saja. Para pemuda yang tidak tahu apa-apa, sejak kecil didikte untuk menguasai kurikulum di Indonesia dengan mata pelajaran yang seabrek dan monoton. Juara kelas dengan nilai sempurna menjadi acuan standard bagi seorang anak untuk dikatakan berprestasi. Saya ingat, ketika saya masih di bangku SMA, ada seorang teman yang memilih untuk pindah sekolah agar dapat masuk di kelas IPA. Ketika itu, entah kenapa, kelas IPA dinilai sebagai murid yang pandai sehingga murid di kelas IPS cenderung dipandang remeh. Padahal seharusnya tidak seperti itu namun kenyataannya memang demikian.

Sistem pendidikan di Indonesia yang mengharuskan seorang anak untuk lulus di mata pelajaran tertentu membuat orang tua cenderung menuntut anaknya untuk menekuni kegiatan akademisnya. Bimbingan belajar dan kursus dengan jam belajar serta sistem belajar gila-gilaan menjamur di Indonesia demi membuat seorang anak lulus dengan nilai memuaskan di Ujian Nasional. Apakah Anda pernah memikirkan apa yang akan mereka lakukan setelah lulus kemudian? Pernahkah terpikirkan, jika semua anak lulus dengan nilai akademis serupa apa yang membuat anak Anda lebih istimewa ketimbang anak lain? Tepat sekali. Nilai non akademisnya tentunya.

Nilai akademis yang diraih di sekolah mendikte seorang anak bahwa kesuksesan hanya terpatok pada nilai semata sementara nilai non akademis tidak demikian. Dengan membiarkan seorang anak mengembangkan hobby serta kreatifitasnya, maka kita telah menciptakan seorang anak yang berbeda yang akan menggali potensinya dengan cara berbeda. Dan melalui perbedaan itulah, maka akan semakin banyak cara kreatif dan inovatif yang tercipta untuk menciptakan perubahan di Indonesia tercinta.

Yuk, stop mendikte dan mulai mendukung kreatifitas orang muda yang semakin bermunculan di era modern ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun