Salah satu faktor pendorong utama keberlangsungan hidup sebuah negara adalah energi, karena mayoritas sektor kehidupan masyarakat sangat bergantung pada energi. Asia Timur adalah salah satu Kawasan dengan pertumbuhan energi tercepat di dunia, negara-negara di Kawasan Asia Timur di juluki sebagai New Industrialized Countries sangat bergantung dengan faktor energi untuk mendukung kemajuan dan keberhasilan dari proses industrialisasi negaranya. Namun, hal ini juga jadi menimbulkan masalah baru ketika produksi energi di domestic tidak cukup memenuhi kebutuhan energi secara keseluruhan. Mayoritas negara-negara di Kawasan Asia Timur mengandalkan kegiatan impor energi untuk memenuhi kebutuhan negara terhadap energi, padahal pemasoknya sangat terbatas. Oleh sebab itu,sangat rentan dapat terjadinya potensi krisis energi di Kawasan Asia Timur.
Seiring dengan perkembangan ekonomi yang pesat, negara-negara di Kawasan Asia Timur memiliki permintaan impor energi yang terus meningkat untuk mendukung pertumbuhan industri, infrastruktur, serta populasi. Akan tetapi, ketergantungan negara pada impor dan keterbatasan sumber daya energi dalam negeri menjadi faktor pendorong utama dari persaingan dan konflik energi di Kawasan Asia Timur. Ketergantungan pada impor energi membuat negara-negara di Kawasan Asia Timur ini menjadi sangat sensitif terhadap perubahan pasokan energi dan berusaha untuk mengamankan akses ke sumber daya energi ekstrenal, seperti minyak dan gas alam. Konflik energi di Kawasan Asia Timur merupakan konflik yang kompleks, dengan melibatkan negara-negara besar di kawasan serta aktor global. Salah satu negara yang berpotensi besar mengalami krisis energi adalah Tiongkok, mengingat bahwa semakin berkembangnya Tiongok menjadi salah satu emerging power paling berpengaruh di level regional bahkan dalam lingkup global saat ini (Safril, 2011 : 169).
Tanda-tanda bahwa Tiongkok akan mengalami krisis energi mulai terlihat ketika pada dekade 1990 hingga 2000- an, produksi minyak domestik Tiongkok hanya dapat memenuhi sekitar sepertiga dari total kebutuhan minyak Tiongkok. Antara 1991 sampai 2009, jumlah produksi minyak Tiongkok cenderung mengalami stagnansi di kisaran angka 2-3 juta barrel per hari sedangkan berbagai  industri dan kebutuhan masyarakat Tiongkok mamu mengonsumsi 9 juta barrel minyak perhari. Pada akhirnya, hal ini kemudian menggeser posisi Tiongkok yang pada dekade 1980-an berperan sebagai eksportir minyak terbesar di Asia Timur kemudian menjadi pengimpor minyak terbesar kedua di dunia pada tahun 2004 (Safril, 2011:171-172). Selain Tiongkok, NICs lain di Kawasan Asia Timur yaitu Jepang dan Korea Selatan juga mengalami hal serupa.
Dinamika Geopolitik
Dinamika geopolitik konflik energi di Asia Timur mencerminkan kompleksitas hubungan antarnegara yang dipengaruhi oleh kebutuhan energi, klaim teritorial, dan kepentingan strategis global. Kawasan ini menghadapi ketegangan yang signifikan akibat persaingan untuk mengamankan sumber daya energi, terutama di Laut China Selatan dan Laut China Timur. Laut China Selatan, yang diyakini memiliki cadangan minyak dan gas besar, menjadi titik sengketa utama. Tiongkok mengklaim hampir seluruh wilayah ini melalui Nine Dash Line (sembilan garis putus-putus) yang bertentangan dengan klaim negara-negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Untuk memperkuat klaimnya, Tiongkok membangun pulau buatan dan infrastruktur militer, memicu ketegangan dengan negara-negara tetangga dan menarik perhatian global.
Sementara itu, di Laut China Timur, rivalitas antara Tiongkok dan Jepang atas Kepulauan Senkaku juga menjadi sorotan. Wilayah ini memiliki potensi cadangan energi strategis, sehingga memicu patroli militer dari kedua belah pihak yang meningkatkan risiko bentrokan langsung. Â Konflik ini semakin dipersulit dengan keterlibatan aktor global seperti Amerika Serikat dan Rusia. Amerika Serikat, melalui kebijakan Pivot to Asia, memperkuat aliansi dengan Jepang, Korea Selatan, dan Filipina untuk menjaga stabilitas kawasan serta kebebasan navigasi di jalur perdagangan utama. Namun, langkah ini sering dianggap sebagai provokasi oleh Tionkok, yang melihatnya sebagai ancaman terhadap kedaulatannya.
Di sisi lain, Rusia mempererat kerja sama energinya dengan Tiongkok, seperti melalui proyek pipa gas Power of Siberia, untuk memperluas pengaruhnya di kawasan dan mengurangi ketergantungannya pada pasar Barat. Upaya untuk mengelola konflik ini melalui mekanisme diplomatik, seperti inisiatif ASEAN untuk menyusun Kode Etik Laut China Selatan, masih terhambat oleh tekanan geopolitik dan perbedaan kepentingan. Secara keseluruhan, konflik energi di Asia Timur tidak hanya berkaitan dengan perebutan sumber daya, tetapi juga melibatkan persaingan kekuasaan antara negara-negara regional dan global. Ketegangan ini berdampak besar pada stabilitas kawasan, ekonomi global, dan jalur perdagangan internasional, mengingat pentingnya Asia Timur sebagai pusat aktivitas ekonomi dunia. Upaya untuk mengatasi konflik ini membutuhkan kerja sama multilateral dan kepercayaan antarnegara, meskipun realisasinya masih menjadi tantangan besar di tengah persaingan yang terus berlangsung.
Dampak Konflik
1. Ketegangan Geopolitik dan Perlombaan Militer
Salah satu dampak dari konflik energi Asia Timur adalah meningkatnya ketegangan geopolitik di Kawasan. Rivalitas antara Tiongkok dengan Jepang, Filipina, dan Vietnam memicu perlombaan militer yang intens. Misalnya, saat Tiongkok membangun pangkalan di pulau-pulau buatan. Negara-negara tetangga meresponsnya dengan meningkatkan anggaran pertahanan mereka dan memperkuat aliansi militer. Ketegangan ini menciptakan risiko eskalasi konflik yang dapat melibatkan kekuatan global, serta dapat mengancam stabilitas Kawasan.
2. Menghambat Investasi Energi