Mohon tunggu...
Rustam_RTM
Rustam_RTM Mohon Tunggu... Lainnya - Pencari makna

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Membuka Memori Kemenangan Bersejarah Kolom Kosong di Indonesia

2 Juni 2020   23:30 Diperbarui: 3 Juni 2020   09:41 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

HASIL Pilkada Makassar tahun 2018 mengejutkan banyak orang. Di luar perkiraan, paslon tunggal di Kota Angin Mamiri ditumbangkan oleh kolom kosong atau kotak kosong.Kemenangan kolom kosong di Makassar ini sekaligus menjadi sejarah baru. Pasalnya, ini adalah kali pertama kotak kosong mampu menang sejak gelaran Pilkada langsung digulirkan pertama kali di tahun 2005.

Hasil ini mengejutkan banyak orang.  Tak banyak yang memprediksi kolom kosong yang bukan calon, tak punya kemampuan berkampanye bisa dipilih mayoritas voters. Tapi fakta tak bisa dirubah, hasil resminya telah diumumkan KPU Makassar pada 6 Juli 2018.

Terlepas dari berbagi intrik politik yang terjadi, kemenangan kolom kosong ini bisa dikatakan sebagai  kemenangan rakyat. Sebab, paslon tunggal yang diusung 10 parpol yang menguasi 47 dari 50 kursi di DPRD pun tak mampu berbuat banyak.

Paslon tunggal hanya mampu meraup 264.245 suara. Sementara jumlah masyarakat yang menjatuhkan pilihan ke kolom kosong sebanyak 300.795 orang. Selisihnya 36.550 suara.

Kita tahu, di Pilkada serentak 2018, ada belasan daerah yang juga mengalami nasib sama dengan Makassar: mengelar pemilihan dengan satu paslon. Namun hanya di Makassar paslon tunggal bisa kalah.

Hasil ini  menjadi istimewa di tengah apatisme politik. Banyak warga yang tak begitu peduli dengan urusan pilih memilih memimpin. Hasilnya angka golput dari setiap gelaran pemilihan tetap saja tinggi.

Bahkan ada banyak pilihan pemimpin saja, masih banyak masyarakat yang tak tergerak untuk mendatangi TPS. Apalagi jika hanya satu calon.

Mari kita coba ulas kondisi psikologi politik warga di wilayah yang hanya ada satu calon. Banyak yang kemudian berpikir bahwa kemenangan sudah barang tentu berpihak pada paslon tunggal. Sebab, kolom kosong selain tak mempunyai kemampuan mengajak dan memobilisasi pemilih, paslon tunggal juga pasti sangat diuntungkan dengan kondisi.

Paslon tunggal hanya perlu 50 persen plus 1 suara dari jumlah keseluruhan pemilih. Dan itu bukanlah hal yang sulit. Terbukti di belasan daerah yang lain semuanya dimenangkan oleh paslon tunggal yang rata-rata adalah petahana.

Tentu ada gerakan politik yang mencoba memkampanyekan kolom kosong, namun itu tidak efektif.

Tapi di Makassar berbeda, terlihat sebelum pemilihan saja banyak warga yang entah sukarela atau digerakkan oleh kepentingan politik lain berbondong-bondong mengkampanyekan kolom kosong.

Salah satu gerakan yang terbilang besar adalah Relawan Kolom Kosong (Rewako). Kelompok itu sangat aktif mengkampanyekan kolom kosong. Bahkan, sempat ada intrik akibat lemparan opini yang pesannya adalah mengkampanyekan kolom kosong adalah inkostitusional. Pasalnya kolom kosong bukan paslon yang boleh dikampanyekan.

Tapi semua berjalan seperti seharusnya, hingga dihari pemilihan, semua hasil hitung cepat baik dari Lembaga Survei hingga KPU mengunggulkan kolom kosong dari suara paslon Munafri Arifuddin (Appi) dan Andi Rachmatika Dewi (Cicu).

Hasil itu disambut gembira banyak masyarakat. Wali Kota Makassar saat itu bahkan disemprit oleh Pj Gubernur karena dinilai terlalu ber-euoforia atas kemenangan kolom kosong.

Sekali lagi hasil itu tentu membahagikan. Bukan karena urusan siapa kalah dan menang. Esensinya jauh lebih penting dari itu. Ini soal kesadaran berdemokrasi yang ditunjukkan masyarakat Makassar.

Tentu ini membuka mata kita tentang teknis sistem kepartaian. Partai yang sejatinya dibentuk sebagai lembaga aspirasi demokrasi publik dalam tanda petik dibukakan matanya oleh masyarakat Makassar.

Bagaimanapun, kedaulatan tertinggi ada ditangan rakyat. Jika partai politik tidak mampu mewadahi aspirasi itu, maka akan muncul gerakan rakyat untuk mencari jalur lain, agar aspirasi politik yang dianggap baik oleh masyarakat dapat disalurkan. Dan itu terbukti di Makassar.

Mengapa Bisa Calon Tunggal?

Kondisi politik Pilkada Makassar di tahun 2018,  jauh berbeda dengan daerah lain yang juga diikuti satu paslon alias calon tunggal.

Jika didaerah lain, sejak awal hanya satu paslon yang mendaftar, di Makassar ada dua paslon. Namun, sebelum masa kampanye, salah satu paslon yang adalah seorang petahana didiskualifikasi.

Paslon petahana didiskualifikasi KPU setelah keluarnya keputusan PTTUN Makassar yang dikuatkan MA lantaran dinilai melanggar ketentuan Pilkada. Danny Pomanto, calon Wali Kota petahana itu digugurkan lantaran dinilai mengunakan kekuasaannya untuk kepentingan pencalonnanya.

Danny bersama Indira Mulyasari Paramastuti pun tak punya tiket lagi untuk melanjutkan pertarungan di Pilkada Makassar.

Karena telah digugurkan, Danny memutuskan kembali ke posisinya sebagai Wali Kota lebih cepat, sebelum berakhirnya masa cuti kampanye.

Faktor Kemenangan Kolom Kosong

Sebelum akhirnya didiskualifasi, sejumlah lembaga survei merilis tingkat keterpilihan Danny Pomanto diatas 70 persen. Selain itu, tingkat kepuasaan warga terhadap kinerja Pemkot Makassar juga ada kisaran tersebut.

Danny juga telah mendapatkan puluhan penghargaan baik dalam dan luar negeri atas capaiannya memimpin kota Makassar.

Lantas spekulasi pun bermunculan: ada peran Danny Pomanto dalam kemenangan kolom kosong. Tentu kita tidak boleh menanggap spekulasi sebagai hal yang remeh.

Saya rasa itu ada benarnya, jika merujuk tingkat keterpilihan Danny,  maka secara tidak langsung dapat dikatakan ada peran Danny. Artinya, masyarakat menilai jika memilih kolom kosong maka ada kemungkinan Pilkada digelar ulang pada tahun 2020 dan Danny dapat kembali mencalonkan.

Namun jika dikaitakan dengan peran Danny memobilisasi massa itu hal lain. diberbagai kesempatan Danny membantah jika dikatakan mengkampanyekan kolom kosong.

Hal itu juga telah dilaporkan ke Bawaslu dan Gakkumdu dan hasilnya, Danny dinyatakan tidak terbukti melakukan mobilisasi.

Baiklah, peristiwa itu telah berlalu hampir dua tahun, kini kondisinya sudah berbeda. Lalu akan muncul sejumlah pertanyaan seperti:

Bagaimana setelah KPU Mengumumkan akan mengelar Pilkada di bulan Desember setelah sempat ditunda akibat pandemi Covid-19?

Bagaimana peluang Danny yang punya modal sosial yang besar pada masyarakat kota Makassar setelah memutuskan maju lagi di Pilkada 2020? Apalagi ada kenangan perjuangan rakyat yang kemungkinan besar adalah strong voters Danny yang telah mampu menang melawan paslon tunggal?

Atau bagaimana peluang Appi yang terlihat masih berkeinginan mencalonkan diri dengan pasangan lain.

Tentu dinamika politik ini semakin kompleks dan akan semakin menarik untuk diperhatikan. (**)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun