Lebaran, kadang menjadi momen bertemunya banyak harapan. Â Karena memang tidak sedikit, yang menebarnya secara cuma-cuma. Dari sekedar harapan mendapat penghidupan lebih baik, jodoh yang sempurna, study yang moncer, sampai karir dan jabatan tinggi.Â
Ungkapan, 'Ya pasti ku doakan, semoga lancar. Sukses,' menjadi semacam legitimasi, bagi tak sedikit orang untuk kembali dapat melanjutkan hidup, yang sebenarnya tak bagus-bagus amat untuk diceritakan.Meskipun ada kata-kata 'pasti ku doakan' tapi siapa yang bisa menjamin, bahwa orang-orang pemberi harapan ini benar-benar menengadah di-sepertiga malam yang dingin dan sunyi, lalu mendoakan kita.Â
Orang terdekat-pun saya ragu. Kecuali orang tua, bapak dan ibu kita sendiri tentunya.Saya pernah kok, nyoba menanyakan keseriusan teman yang lama tak saya temui, sehabis mengucap "Pokoknya kamu ku doakan cepat punya mobil, kan kasihan anakmu kepanasan kehujanan," pada sebuah momen buka bersama.Â
Sepulang dari acara, dua jam kemudian saya buka kontak WhatsApp yang baru saya dapatkan. Saya tanya, "Emang bener, kamu mau mendoakan saya. Kalau iya, ini kan malam ganjil Ramadan, kalau bisa doanya setelah solat Qobliah Subuh ya, katanya makbul,". Bukan apa-apa, maksud saya kalau memang mau bantu, ya mbok yang total.
Tahu apa kata teman lama saya itu ?, "Masa kamu lupa, setelah menikah kan aku masuk Katolik ikut istriku" Lah, emboh wis sak karepmu. Berdoa kepada Tuhan dia sekarang kan bisa. Tapi ya begitu, rasanya janji mendoakan adalah list selanjutnya dari apa yang dalam budaya Jawa disebut 'towo-towo ulo' alias basa basi.Nah kan, yang teman saja, tak bisa dipastikan ucapan 'pasti ku doakan' --nya bener-bener bakal didoakan. Apalagi yang cuma sekedar kenal.
Padahal, dalam banyak kesempatan kita tidak meminta-pun buanyak orang yang dengan entengnya mengucap janji bakal mendoakan. Ya, saya juga paham kalau sudah didoakan pun, belum tentu bisa langsung dikabulkan. Kita sama-sama meyakini, urusan kabul atau tidak, adalah hak prerogative Tuhan Yang Maha Esa. Tapi, nih tapi. Sebagai manusia, kan kita juga perlu usaha. Apalagi, kata Kyai saya dulu kalau yang mendoakan lebih dari 40 orang, sama dengan doa 1 orang Wali. Artinya, prosesntase kabulnya, meningkat.
Anggap saja, kalau setiap hari ada 2 sampai 3 orang rata-rata berjanji mendoakan. Kita cuma perlu 1 bulan saja, untuk bisa mendapat kekuatan doa satu orang Wali dan segera mendengar  jawaban Tuhan. Wali loh ini. Hanya saja, untuk mendapatkan orang yang benar-benar menepati janji mendoakan itu juga tidak gampang. Walaupun frasa 'janji adalah hutang' mafhum di telinga banyak orang, tapi nyatanya sekedar melunasi hutang doa saja nampak berat.Â
Sepertinya, lebih banyak yang percaya kalau janji adalah hutang, maka lunasi saja hutang itu dengan janji. Yohalah.
Sebagai manusia yang punya darah Jawa. Saya juga ewuh kalau mau nagih hutang mendoakan itu. Coba, bagaimana kira-kira cara menagih janji mendoakan yang elok. Minta PAP orang yang berjanji ketika berdoa, lalu dikirim ke WhatsApp ?. Kok malah jadi komoditas ini doa.
Tapi, lazimnya kita sebagai manusia Indonesia, kita seringkali entah ikhlas atau tidak berterimakasih kepada hal-hal yang sebenarnya bertentangan dengan hati kecil. Contohnya ya dalam urusan doa mendoakan ini. Saya kasih ilustrasi. Salah satu redaktur senior di tempat saya bekerja, ikut seleksi Adhoc komisioner KPU. Dan benar, ternyata dia lolos, dan bahkan jadi ketua. Layaknya orang Indonesia lain, dia bilang ke semua orang termasuk saya, bahwa kesuksesannya lolos bahkan jadi ketua KPU karena doa semua orang. Dalam hati, saya ngedumel. Masa iya ?.
"Makasih ya, ini juga berkat doa mu dan kawan-kawan semua," katanya saat membalas ucapan selamat saya kepada dia lewat WhatsApp. Sekonyong-konyong saya yang merasa tidak pernah mendoakan dia, membalas. "Bang, jujur ya. Aku nda pernah doakan kamu lolos. Apalagi sampai jadi ketua," ungkap saya. Meskipun itu ditanggapi enteng oleh dia dan dianggap bercanda, tapi buat saya urusan doa  tak sebercanda itu. Ungkapan saya malah ditimpali dengan konyol. "Ya mungkin, doanya yang lain. Kan temanku bukan kamu aja," katanya kemudian.
Maksud saya begini, andai saja semua orang komit dengan janji akan mendoakan orang lain, baik berasal dari inisiatif pribadi, menuruti permintaan sampai ajakan mendoakan massal dari tokoh agama atau para pemimpin.
 Lho, ini bisa jadi kekuatan yang lebih dahsyat dari jentikan jarinya Thanos. Bayangkan, ketika Aa Gym atau Ustadz Yusuf Mansyur mengajak kita mendoakan agar Allah membebaskan Indonesia dari jeratan hutang IMF, lewat acara televisi dan didengar oleh 200 juta masyarakat Indonesia. Lalu masing-masing dari meraka komit dan mencari waktu paling makbul dan berdoa dengan doa yang sama, masa iya Tuhan tidak mau mengabulkan doa 200 juta orang. Apalagi doanya baik, bukan mau meminta yang emang kalah dimenangkan, eh apasih.
Jadi, harapan saya pada lebaran tahun depan, atau momen apapun reuni alumni, atau arisan keluarga misalnya jangan lagi menebar janji bakal mendoakan, jika memang anda tidak punya niat mau mendoakan. Mendoakan yang saya maksud benar-benar bermunajat kepada Tuhan. Kecuali memang anda punya definisi atau cara berbeda dalam berdoa. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H