Padang Arafah merupakan 'Padang Pengampunan' dan 'Padang Pencerahan' bagi setiap diri yang ingin meningkatkan kualitas keislamannya. Padang Arafah adalah padang pengetahuan ma'rifat bagi perjalanan spiritual seorang hamba Allah yang ingin mendekatkan diri kepada- Nya.
Tidak ada haji tanpa perenungan Arafah. Tidak akan pernah ada pencapaian puncak keislaman seorang muslim, tanpa ma'rifatullah di Padang Pengetahuan ini. Karena sesungguhnya, ini baru permulaan bagi perjalanan spiritual berikutnya. Yang di dalam ritual haji disimbolkan dengan lempar jumrah di Mina, thawaf diseputar Ka'bah, dan diakhiri dengan Sa'i antara Shafa dan Marwah.
Setiap jamaah haji, atau bahkan muslim harus paham benar substansi ritual haji itu. Bukan hanya ikut-ikutan. Setiap kita harus memulai segala ritual ibadah dengan pengetahuan yang mendalam. Bukan hanya ritualnya melainkan lebih kepada substansinya. Agar kita memperoleh makna dan dampak sesungguhnya dari ibadah yang kita lakukan. Karena, jika tidak mengerti, maka ibadah haji kita itu hanya akan menjadi amalan-amalan kosong belaka.
Coba bayangkan, untuk apa kita merenung berjam-jam di dalam tenda di Padang Arafah itu jika tidak paham maksudnya. Jangan-jangan hanya akan menjadi 'melamun berjamaah' belaka. Â Atau, ada juga yang sekedar 'ngobrol berjamaah' karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, setelah bosan'dipaksa melamun' tanpa makna.
Demikian pula, ketika melempari Jamarat alias 'Tugu Setan' di Mina. Jika kita tidak paham maksudnya, jangan-jangan 'ritual maut' yang sering membawa korban jiwa itun hanya akan menjadi momen unjuk kekuatan dan kebengisan berebut tempat untuk bisa melempari tugu buatan manusia yang sekarang sudah dibuat tingkat 5 itu.
Dan tak ada bedanya, saat kita bertawaf putar-putar Ka'bah atau mondar-mandir antara Shafa dan Marwah. Jangan-jangan juga tak memberi dampak berarti buat jiwa kita, disebabkan oleh tidak pahamnya terhadap apa yang kita lakukan. Nah, semua itu harus sudah ditancapkan kuat-kuat saat kita berada di Padang Arafah. Persis seperti ketika Nabi Ibrahim memutuskan untuk melakukan perintah Allah mengorbankan anaknya, seusai melakukan perenungan di Arafah.
Karena itu, filosofi ritual haji itu sambung menyambung membentuk substansi keislaman yang utuh. Dimulai dari perenungan di Arafah yang mewujud menjadi niat kokoh untuk berkorban kepada Allah, dalam bentuk kebajikan buat sesama.
Kemudian dilanjutkan lagi dengan Tawaf mengelilingi Ka'bah sebagai ungkapan untuk memusatkan seluruh aktivitas kehidupan kita hanya kepada Allah. Bukan berputar-putar di sekitar harta benda, kukasaan, dan segala kecintaan dunia belaka. Melainkan, berpusat ke Baitullah.
Seluruh gerakan tawaf kita adalah sebuah kebersamaan hablum minan naas (hubungan antara manusia) untuk dipusatkan kepada Allah, sebagai menivestasi hablum minallah (hubungan dengan Allah). Manusia dari segala bangsa berputar-putar di sekeliling Baitullah. Tidak boleh saling mengganggu apalagi menyakiti. Sambal berdzikir hanya mengingat Allah, sebagai inti gerakan seluruh alam semesta.
Sedangkan Sa'i adalah manifestasi dari perjuangan tiada henti untuk mencapai kesuksesan dalam hidup. Sebuah kesuksesan duniawi yang kemudian dijadikan sebagai pijakan sekaligus modal untuk mencapai kebahagiaan Ukhrawi. Mengacu pada perjuanagn Siti Hajar dalam mempertahankan hidupnya dan hidup anaknya (Ismail) tanpa putus asa, sambil berserah diri kepada Allah semata. Hasilnya, Allah memberikan kesuksesan di akhir perjuangan tanpa kenal lelah itu.