Ilustrasi pertama. Seseorang (Fulan) berpenghasilan Rp.25 juta perbulan (kelas menengah keatas). Â Setiap bulannya ia mampu menabung Rp. 7,5 juta (sisa dari pengeluaran biaya primer, listrik, telepon, tc kabel, kuliah anak, kredit mobil, refresing keluarga, dsb). Dalam waktu setahun, saldo tabungannya sebesar Rp. 90 juta. Â Pertanyaan: "Apakah ia dikenai kewajiban membayar zakat mal?"
Seorang ustadz menjawab dengan cepat, "Iya". Â Dengan dasar fiqih yang dipahaminya sang ustadz menjelaskan perihal NISAB (jumlah minimal), dan HAUL (kepemilikan selama setahun). Â Menurutnya harta berupa emas, perak, berlian, uang simpanan, deposito, saham, dan sejenisnya, yang dalam setahun nilainya setara dengan 85 gram emas (saat ini Rp.57,8 juta) diwajibkan membayar zakat sebesar 2,5 %. Â Dengan demikian maka si Fulan wajib membayar zakat mal sebesar Rp.90 juta x 2,5%, yaitu Rp.2,25 juta.
Arahan pak ustadz ini kurang tepat bahkan keliru, karena menggunakan logika fiqih yang rancu. Kerancuan pertama adalah bahwa Fulan memiliki uang saldo di tabungannya sebesar 90 juta rupiah itu belum genap setahun (Haul). Mengapa?  Karena Fulan memiliki tabungan memenuhi Nisab sebesar  60 juta rupiah (lebih dari 57,8 juta rupiah) baru setelah bulan ke-8 ia menabung.
Pada akhir tahun (bulan ke-12), harta fulan memang telah memenuhi Nisab, tetapi baru berjalan selama 4 bulan (bulan ke 9 hingga 12). Jadi harta fulan masih belum memenuhi syarat Haul (kepemilikan selama setahun).
Kerancuan kedua.  Berdasarkan logika fiqih sang ustadz, harta si fulan yang dikenai kewajiban membayar zakat adalah saldo tabungan. Artinya itu adalah sisa penghasilan yang telah terpakai untuk berbagai keperluan, termasuk kredit mobil.
Apakah pemikiran itu adil bila dibandingkan dengan  penghasilan petani yang harus mengeluarkan zakatnya setiap kali panen sebesar 5%  dengan nisab 520 kg beras (setara dengan Rp 6 juta harga beras rata2 saat ini). Petani membayar zakat tidak dalam haul setahun, tetapi setiap kali panen.
Menjawab pertanyaan "adilkah?" itu, tentu pak ustadz akan menjawab dengan argumen klasik, "Ya memang seperti itulah aturan fiqih Islam" Â Ironisnya, logika fiqih seperti inilah yang justru sering dipakai oleh banyak pejabat dan orang kaya saat ini.Â
Ilustrasi kedua. Penghasilan Fulan berikutnya bertambah sebesar Rp.35 juta perbulan. Pengeluarannyapun juga semakin besar, karena harus menyicil angsuran pembelian sebidang lahan tanah yang luas sebagai investasi kedepan. Â Sehingga saldo di buku tabungannyapun tidak berbeda banyak hanya sekisaran 100 juta setahun. Â Berapakah besar zakat yang harus ia keluarkan?Â
Tentu pak ustadz akan menjawab sama dengan aturan fiqih konvensional tadi. Harta kekayaan berupa tanah, mobil, villa, dan sebagainya tidak dikenakan zakat. Padahal aset-aset  itu sama-sama merupakan harta kekayaan serupa dengan simpanan uang di bank atau emas.
Kalau pemahaman pak ustadz seperti itu maka akan tampak aneh. Fulan yang berpenghasilan tinggi bayar zakatnya jauh dibawah petani yang miskin. Padahal harta kekayaan fulan berupa rumah mewah, beberapa bidang tanah, sejumlah mobil dan perlengkapan lainnya sangat besar, sangat jauh diatas harta petani miskin yang hanya mempunyai sebidang sawah garapan yang tidak terlalu luas. Â Itulah kerancuan logika fiqih pak ustadz.
Lantas bagaimana semestinya besaran zakat kekayaan yang logis dan adil menurut Islam?. Â Jawabannya menurut hemat penulis adalah Zakat Profesi.Â