Mohon tunggu...
De Kalimana
De Kalimana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerancuan Logika Fiqih dalam Perhitungan Zakat Mal (Harta)

9 Juni 2018   12:12 Diperbarui: 9 Juni 2018   12:22 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(caramenghitung.com)

Ilustrasi pertama. Seseorang (Fulan) berpenghasilan Rp.25 juta perbulan (kelas menengah keatas).  Setiap bulannya ia mampu menabung Rp. 7,5 juta (sisa dari pengeluaran biaya primer, listrik, telepon, tc kabel, kuliah anak, kredit mobil, refresing keluarga, dsb). Dalam waktu setahun, saldo tabungannya sebesar Rp. 90 juta.  Pertanyaan: "Apakah ia dikenai kewajiban membayar zakat mal?"

Seorang ustadz menjawab dengan cepat, "Iya".  Dengan dasar fiqih yang dipahaminya sang ustadz menjelaskan perihal NISAB (jumlah minimal), dan HAUL (kepemilikan selama setahun).  Menurutnya harta berupa emas, perak, berlian, uang simpanan, deposito, saham, dan sejenisnya, yang dalam setahun nilainya setara dengan 85 gram emas (saat ini Rp.57,8 juta) diwajibkan membayar zakat sebesar 2,5 %.  Dengan demikian maka si Fulan wajib membayar zakat mal sebesar Rp.90 juta x 2,5%, yaitu Rp.2,25 juta.

Arahan pak ustadz ini kurang tepat bahkan keliru, karena menggunakan logika fiqih yang rancu. Kerancuan pertama adalah bahwa Fulan memiliki uang saldo di tabungannya sebesar 90 juta rupiah itu belum genap setahun (Haul). Mengapa?  Karena Fulan memiliki tabungan memenuhi Nisab sebesar  60 juta rupiah (lebih dari 57,8 juta rupiah) baru setelah bulan ke-8 ia menabung.

Pada akhir tahun (bulan ke-12), harta fulan memang telah memenuhi Nisab, tetapi baru berjalan selama 4 bulan (bulan ke 9 hingga 12). Jadi harta fulan masih belum memenuhi syarat Haul (kepemilikan selama setahun).

Kerancuan kedua.  Berdasarkan logika fiqih sang ustadz, harta si fulan yang dikenai kewajiban membayar zakat adalah saldo tabungan. Artinya itu adalah sisa penghasilan yang telah terpakai untuk berbagai keperluan, termasuk kredit mobil.

Apakah pemikiran itu adil bila dibandingkan dengan  penghasilan petani yang harus mengeluarkan zakatnya setiap kali panen sebesar 5%  dengan nisab 520 kg beras (setara dengan Rp 6 juta harga beras rata2 saat ini). Petani membayar zakat tidak dalam haul setahun, tetapi setiap kali panen.

Menjawab pertanyaan "adilkah?" itu, tentu pak ustadz akan menjawab dengan argumen klasik, "Ya memang seperti itulah aturan fiqih Islam"  Ironisnya, logika fiqih seperti inilah yang justru sering dipakai oleh banyak pejabat dan orang kaya saat ini. 

Ilustrasi kedua. Penghasilan Fulan berikutnya bertambah sebesar Rp.35 juta perbulan. Pengeluarannyapun juga semakin besar, karena harus menyicil angsuran pembelian sebidang lahan tanah yang luas sebagai investasi kedepan.  Sehingga saldo di buku tabungannyapun tidak berbeda banyak hanya sekisaran 100 juta setahun.  Berapakah besar zakat yang harus ia keluarkan? 

Tentu pak ustadz akan menjawab sama dengan aturan fiqih konvensional tadi. Harta kekayaan berupa tanah, mobil, villa, dan sebagainya tidak dikenakan zakat. Padahal aset-aset  itu sama-sama merupakan harta kekayaan serupa dengan simpanan uang di bank atau emas.

Kalau pemahaman pak ustadz seperti itu maka akan tampak aneh. Fulan yang berpenghasilan tinggi bayar zakatnya jauh dibawah petani yang miskin. Padahal harta kekayaan fulan berupa rumah mewah, beberapa bidang tanah, sejumlah mobil dan perlengkapan lainnya sangat besar, sangat jauh diatas harta petani miskin yang hanya mempunyai sebidang sawah garapan yang tidak terlalu luas.  Itulah kerancuan logika fiqih pak ustadz.

Lantas bagaimana semestinya besaran zakat kekayaan yang logis dan adil menurut Islam?.  Jawabannya menurut hemat penulis adalah Zakat Profesi. 

Zakat profesi merupakan ijtihad para ulama di masa kini yang berangkat dari ijtihad yang cukup memiliki alasan dan dasar yang kuat. Di antara ulama yang berpendapat adanya zakat profesi ialah Syaikh Abdur Rahman Hasan, Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Abdul Wahab Khalaf, dan Syaikh Yusuf Qaradhawi.  Mereka berpendapat bahwa semua penghasilan melalui kegiatan profesi seperti dokter, advokat, konsultan, artis, seniman, akuntan, notaris, dan sebagainya, apabila telah mencapai nisab, wajib dikenakan zakatnya.

Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait pada 30 April 1984 M juga menghasilkan kesepakatan tentang wajibnya zakat profesi bila mencapai nisab meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya.

Dalam hal waktu pengeluaran zakat profesi, pendapat ulama modern seperti Yusuf Qardhawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan zakat pertanian yang dibayar pada setiap waktu panen.

Sedangkan nisab zakat profesi dianalogikan dengan zakat pertanian sehingga nisabnya senilai 520 kg beras. Jadi, apabila harga beras per kilogram diasumsikan Rp 12.000, nisab zakat profesi per bulannya adalah 520 x Rp 12.000 = Rp 6.240.000 per bulan.  Apabila penghasilan bersih seseorang per bulan mencapai Rp 6.240.000, maka ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen dari penghasilan bersihnya.

Pada case ilustrasi pertama. Maka Fulan yang berpenghasilan Rp.25 juta perbulan akan membayar Zakat Profesi sebesar Rp.625 ribu. Dalam setahun nilai zakatnya adalah Rp.7,5 juta. Cukup logis dan adil bukan?.  Bandingkan dengan zakat mal perhitungan pak ustadz yang hanya Rp.2,25 juta.

Demikian. Wallahu 'alam bishawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun