Mohon tunggu...
De Kalimana
De Kalimana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Qurban; Tidak Dengan Daging Tapi Dengan Uang

17 Agustus 2017   00:31 Diperbarui: 2 Oktober 2018   09:18 1891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di masa Nabi Ibrahim, komoditas yang paling berharga adalah binatang ternak. Demikian pula di era Nabi Muhammad, sesuai kebutuhan zamannya qurban berbentuk binatang ternak merupakan manifestasi solidaritas tertinggi.  Namun dalam konteks sosio-kultur masyarakat Indonesia sekarang ini pemberian daging qurban bukan lagi sesuatu yang sangat berharga. Justru yang sangat berharga bagi masyarakat kelas bawah adalah uang.

Dua tahun lalu, juga di masjid Istighlal Jakarta. Beberapa orang yang telah mendapat daging dari panitia qurban segera menjualnya kepada pengumpul daging yang berada di seputaran masjid. Ketika ditanya "kenapa dijual bu?" Si ibu itu menjawab santai, "saya lebih butuh uang pak, bukan daging. Memasak daging juga pakai uang pak, saya gak punya." 

Pernyataan si ibu penerima qurban di Masjid Istiqlal itu cukup mewakili kondisi sosial ekonomi masyarakat kelas bawah yang berada di kebanyakan pelosok pelosok desa.  

Kemudian, MAKNA qurban itu sendiri mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi spiritual dan dimensi sosial. Pada dimensi SPIRITUAL, qurban bermakna pendekatan diri kepada Allah (taqwa). Dan pada dimensi SOSIAL, qurban bermakna berbagi kesejahteraan (berupa daging kurban) kepada lingkungan masyarakat kurang sejahtera. 

Apabila seseorang telah melaksanakan 'qurban' dengan menyembelih hewan kurban, maka ia telah melaksanakan ibadah sesuai syariat (dimensi spiritual). Dan jika daging kurban itu dibagikan kepada masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi -- tak pernah makan daging -- maka ibadahnya mempunyai nilai tambah, yaitu nilai kemanfaatan.

'Qurban' akan mempunyai nilai manfaat yang lebih tinggi bila dinikmati oleh masyarakat kurang mampu dibanding jika hanya dibagikan kepada para tetangga yang sudah terbiasa makan daging.

Jika daging qurban diberikan kepada kaum dhuafa, itu namanya berbagi kebahagiaan. Tetapi bila daging itu dibagikan kepada para tetangga berkecukupan di kota, bisa jadi itu kemubaziran. Orang-orang kota banyak yang menghindari bahaya kolesterol.

Bila mempertimbangkan aspek kebutuhan dan kemanfaatan bagi penerima qurban dari kalangan masyarakat dhuafa, maka uang lebih bermanfaat dibandingkan daging.

Maka ber'qurban' dalam bentuk uang dan membagikannya kepada masyarakat dhuafa juga dalam bentuk uang  tentu mempunyai nilai lebih. Karena bila dibagikan dalam bentuk daging, maka berarti kita masih membebani mereka dengan harus mencari bumbu dan sarana untuk memasaknya, yang tentu harus pakai uang.

Perlu dikaji. Bila zakat fitrah (yang wajib) bisa berbentuk uang, bagaimana dengan ibadah qurban (yang sunah)?  KENAPA TIDAK?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun