Mohon tunggu...
De Kalimana
De Kalimana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Quo Vadis Pendidikan Kita; Kesalahan Sistem dan Kurikulum

1 Mei 2017   22:23 Diperbarui: 1 Mei 2017   22:56 4700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prestasi Tinggi namun IPM rendah.

Pelajar Indonesia punya segudang prestasi yang membanggakan di dunia internasional.  Sejak awal 1990-an, deretan prestasi dengan ratusan medali emas, perak, maupun perunggu telah diraih para pelajar Indonesia di berbagai olimpiade sains dunia. Bahkan, hingga kini sudah menjadi tradisi bahwa Indonesia langganan memperoleh medali di olimpiade sains internasional.  Kompetensi pelajar kita memang tak diragukan di ajang olimpiade. Mengapa? Karena sistem pendidikan di Indonesia memaksa anak didik untuk belajar keras. Durasi belajarnya pun terlama di dunia, dan materi pelajarannya juga terbanyak di dunia.  Luar biasa.

Namun tahukah anda, ternyata prestasi tersebut tidak berbanding lurus dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan sebuah negara dalam upaya membangun kualitas hidupmanusia (masyarakat/penduduk). IPM Indonesia masuk kategori sangat rendah di dunia, berada di peringkat 113 dari 188 negara di dunia, dengan nilai sebesar 0,689.  Di ASEAN saja Indonesia tertinggal jauh dari Singapura (peringkat 9), Brunai (peringkat 30), dan Malaysia (peringkat 59). Juga masih dibawah Thailand (peringkat 93) dan Filipina (peringkat 98).  Dengan peringkat itu Indonesia masih berada dalam kelompok negara menengah, sedangkan negara tetangga Malaysia masuk kategori tinggi.

Penentuan peringkat IPM dilakukan melalui survei oleh Badan Program Pembangunan di bawah PBB (United Nations Development Programme/UNDP). Dalam penilaian IPM ada tiga dimensi utama yaitu: Standar Hidup Layak (PDB per kapita), Pendidikan, dan Kesehatan.

Ironis.  Kemampuan siswa dan pelajar Indonesia yang tergolong tinggi (sejak 1990-an) namun kualitas hidup bangsa kita justru tergolong rendah.  Itu berarti output dan outcome sistem pendidikan kita tidak sebanding. Bahkan yang memprihatinkan lagi peringkat IPM Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 110 (tahun 2014) turun menjadi peringkat 113 (tahun 2015). Penurunan itu disebabkan antara lain oleh faktor kesenjangan sosial yang tinggi, banyaknya kasus korupsi (Indonesia peringkat 5 negara terkorup di dunia), dan sebagainya.  Mengapa? Adakah yang salah dengan pendidikan kita?

Menurut Munif Chatib, seorang praktisi pendidikan humanis yang juga selaku Direktur Pendidikan Insan Mandiri Cibubur, bahwa rendahnya kualitas hidup masyarakat bangsa Indonesia disebabkan karena kesalahan sistem pendidikan kita.  Pola dan metode pendidikan yang tidak tepat, ditambah dengan kurikulum padat dan melelahkan menjadikan pelajar kita seperti robot. Kurikulum kita berorientasi pada kemampuan kognitif dan (agak) mengabaikan kemampuan afektif maupun psikomotoris. Padahal negara2 maju telah menerapkan pola Multiple Intelligence (kecerdaan majemuk), yang lebih berorientasi pada aspek afektif dan psikomotoris. Salah satu contoh adalah sistem pendidikan di Finlandia.

Sistem pendidikan di Finlandia

Finlandia merupakan negara yang mempunyai sistem pendidikan terbaik dan murid terpintar di dunia.  Padahal  jumlah waktu belajar murid di Finlandia lebih sedikit dibanding murid di negara lain, serta waktu istirahat yang lebih banyak dan pekerjaan rumah yang minim. Bukan hanya itu, pelajar Finlandia tidak ada yang tidak naik kelas dan hanya sekali menghadapi satu kali ujian nasional ketika berumur 16 tahun. Berbeda dengan murid di Indonesia yang hampir tiap semester diadakan ujian.

Menurut Munif Chatib yang pernah melakukan studi banding di Finlandia, bahwa pola dan metode pendidikan di Indonesia justru berbalik dari pola pendidikan di Finlandia. Kurikulum pendidikan di Finlandia disusun berdasarkan kebutuhan siswa dan lingkungannya, sehingga kurikulum tiap-tiap sekolah berbeda. Sedangkan kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat tersentralisasi dengan standar nasional. Sehingga sekolah di seluruh Indonesia, baik di kota maupun di pelosok mempunyai kurikulum yang sama.

Perbandingan Pendidikan di Finlandia dan Indonesia:

FINLANDIA

INDONESIA

1. Sedikit PR/Tugas
1. Banyak PR/Tugas
2. Siswa tertinggal : dibantu guru
2. Siswa tertinggal : Remidial
3. Semua murid naik kelas
3. Ada sistem tidak naik kelas
3. Setahun siswa masuk selama 190 x
3. Setahun siswa masuk selama 220 x
4. Libur lebih banyak 30 hari
4. Libur sedikit
5. Waktu istirahat hampir 3 kali lebih lama
5. Waktu istirahat sedikit
6. Tidak ada sistem ranking.
6. Ada sistem ranking.
7. Siswa SD belajar 4-5 Jam/hari
7. Siswa SD belajar 6 Jam/hari
8. Siswa SMP dan SMA hanya datang pada jadwal pelajaran yang mereka pilih
8. Siswa SMP dan SMA belajar full 8 jam/hari.
9. Satu kali ujian nasional (umur 16 th)
9. Tiap semester diadakan ujian

Dengan sistem dan kurikululm yang leluasa, para pelajar di Finlandia justru bisa belajar lebih baik dan jadi lebih pintar. Sistem pendidikan di Finlandia menerapkan pola Multiple Intelligence dan titik berat kurikulumnya pada aspek afektif (sikap mental) dan psikomotorik (ketrampilan), bukan pada aspek kognitif (pengetahuan).

Pola pendidikan di Indonesia

Menurut Munif, pendidikan di Indonesia bersifat sentralisasi, semua sekolah di seluruh Indonesia mempunyai kurikulum yang sama.  Baik di kota besar maupun di pelosok desa terpencil, kurikulum pendidikan sama.  Kalaupun berbeda hanya masalah kandungannya saja karena kebijakan sang guru, tetapi materi dan jumlah pelajarannya tetap sama.

Uniknya, meskipun bersifat standar nasional namun kurikulum sering berganti-ganti seiring dengan pergantian kebijakan menteri pendidikan.  Jadi kurikulum pendidikan selalu “berganti”, bukan “berubah”. Kalau “berubah” asosiasinya adalah menyesuaikan perubahan zaman yang diikuti dengan perkembangan sains dan teknologi beserta tantangannya.  Sedangkan kalau “berganti” asosiasinya adalah menyesuaikan kebijakan pemerintah yang diwarnai oleh selera menteri atau nuansa politis.

Sejak dari dulu kurikulum pendidikan di Indonesia berorientasi pada aspek kognitif (kemampuan berfikir dan mengingat) dengan mengecilkan aspek afektif (sikap mental, moralitas, nilai, dsb), dan aspek psikomotoris (ketrampilan, karya, produktifitas, dsb).   Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan di negara-negara maju  yang berorientasi pada pola Multiple Intelligence dan titik berat kurikulumnya justru pada aspek afektif dan psikomotorik, bukan aspek kognitif.

Pendekatan sistem terhadap siswa di Indonesia yang harus belajar sesuai kurikulum yang begitu padat dan melelahkan itu menjadikan pelajar kita seperti robot. Lihat anak-anak kita yang sedang duduk di bangku SD maupun SMP bahkan SMA, tiap hari tas mereka penuh dengan tumpukan buku pelajaran yang padat. Dimanapun mereka bersekolah, baik di sekolah negeri maupun swasta, di kota maupun desa semua sama. Padahal anak-anak kita adalah manusia dengan potensi yang berbeda satu sama lain. Masing-masing mempunyai kelebihan di satu sisi, dan kekurangan di sisi yang lain.

Perlu diketahui bahwa pelajar Indonesia belajar dikelas selama 7 jam setiap hari, itu merupakan durasi waktu belajar terlama di dunia.  Demikian pula jumlah mata pelajaran, juga terbanyak di dunia.  Belum lagi ditambah tugas belajar di rumah (PR). Bila ada siswa yang nilainya kurang maka ia harus mengikuti remedial. Apabila nilainya masih rendah maka ia tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah, sehingga harus mengulangi lagi seluruh pelajaran selama setahun.  Berbeda dengan sistem pendidikan di negara-negara maju, bila ada murid yang tertinggal maka guru memberikan perhatian khusus.

Sejumlah materi pelajaran pada kurikulum nasional dinilai masih banyak yang tidak memberi manfaat dikemudian hari. Padahal materi itu cukup susah dan dianggap sebagai materi utama, seperti materi pada mata pelajaran matematika, fisika, kimia, biologi, dan sebagainya.  Apa tujuan dan manfaat belajar logaritma, integral, menghafal unsur kimia, nama sendi pada anatomi tubuh, dan sebagainya.  90 persen mantan pelajar kita merasa materi-materi tersebut tidak bermanfaat baginya, kecuali bagi sebagian kecil yang melanjutkan kuliah atau bekerja sesuai bidangnya.  

Itu berarti penyusun kurikulum terpaku pada output tetapi tidak memperhatikan outcome, yaitu dampak jangka panjang berupa manfaat atau harapan yang diinginkan.  Penyusun kurikulum kurang atau tidak memasukkan materi pelajaran yang berorientasi pada aspek afektif dan psikomotoris. Anak didik kita tidak dibekali dengan ketrampilan yang memadai sehingga bisa berkarya dan produktif. Mereka kurang mendapat pembekalan nilai-nilai moralitas. Maka tidak heran jika banyak pejabat kita yang korup.  Sejak otonomi daerah sebanyak 70 persen kepala daerah terlibat kasus korupsi. Menurut ICW, Indonesia kini berada pada peringkat 5 negara terkorup di dunia, bahkan Indonesia pernah meraih peringkat 2 negara terkorup di dunia atau hanya kalah dari Fiji.

Merubah Sistem Berbasis Multiple Intelligence.

Sebagaimana yang telah diterapkan di negara2 maju, seyogyanya sistem pendidikan kita menerapkan pola Multiple Intelligence, yang lebih berorientasi pada aspek afektif dan psikomotoris. Menurut Prof. Howard Gardner, penemu teori Multiple Intelligence sebagai reaksi atas konsep pengukuran kecerdasan IQ, bahwa potensi bakat dan kecerdasan setiap orang berbeda-beda.

Menurutnya, mengukur kecerdasan seseorang dengan IQ bukan lagi tidak akurat namun menjadi sangat tidak manusiawi. IQ hanya mengukur kecerdasan dari aspek logika matematika, linguistik dan visual spasial.   Kita harus menghargai potensi setiap orang yang tidak sama, karena masing-masing tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya.  Sungguh tidak etis jika kita menyamaratakan semua orang untuk menerima satu kurikulum.  

Oleh karenanya seharusnya kurikulum pendidikan kita disusun secara tidak sama untuk setiap sekolah maupun daerah. Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan siswa dan lingkungannya, sehingga kurikulum tiap-tiap sekolah berbeda.  Kurikulum di pedesaan yang lingkungannya sawah atau perkebunan tentu berbeda dengan daerah pesisir yang lingkungannya nelayan. Demikian pula untuk daerah kota, industri, perdagangan, pariwisata, dan sebagainya.  Sehingga kurikulum bersifat desentralisasi, masing-masing daerah menyusun kurikulum sesuai kebutuhan.

Disamping kurikulum hal yang perlu ditinjau kembali adalah muatan masing-masing pelajaran.  Penyederhanaan muatan pelajaran dilakukan dengan mengeliminasi materi yang tidak mengandung aspek relevansi dan manfaat jangka panjang.  Mata pelajaran yang perlu dilakukan penyederhanaan muatan diantaranya adalah matematika, fisika, biologi, kimia, geografi, demografi, dan astronomi.  Hal ini tentu akan berpengaruh pada tingkat penyerapan anak didik dalam belajar.

Munif Chatib, penulis buku best seller “Sekolahnya Manusia”  telah mendirikan salah satu sekolah berbasis Multiple Intelligences di Indonesia.  Pada presentasinya di Yayasan Insan Mandiri Cibubur awal April yang lalu, dijelaskan bahwa Sekolah Insan Mandiri Cibubur merupakan sekolah boarding dengan menerapkan sistem pendidikan berdasarkan contoh tentang keberhasilan dari pembelajaran sistem multiple intelligences.

Pola dan kurikulum pendidikan disusun dengan orientasi pada pendidikan karakter (character building), kreatifitas, dan pemecahan masalah (problem solving).  Asas yang digunakan dalam penyusunan kurikulum adalah asas manfaat (benefit), dibutuhkan (discovering), karakter (character building), ilpengtek (science), kontekstual, dan aplikatif.

Sebagaimana di Finlandia, Sekolah Insan Mandiri menjadi pilot project sekolah unggul di Indonesia.  Menurutnya, sekolah unggul adalah sekolah yang unggul dalam proses-prosesnya, bukan unggul dari hasil akhirnya. Jadi sekolah unggul bukanlah “the best input” akan tetapi “the best proses”  

Sekolah unggul bukanlah sekolah yang sangat selektif, yang hanya menerima calon murid pandai melalui serangkaian seleksi ketat. Sekolah unggulan itu adalah yang menerima anak yang bodoh dan nakal, lalu dengan prosesnya yang unggul mengubah mereka menjadi anak yang baik, pintar, dan berkepribadian.  

Output dan Outcome Tidak Selaras.

Suatu ironi bahwa kemampuan dan prestasi pelajar Indonesia yang tergolong tinggi (output) tidak berbanding lurus dengan angka capaian Indeks Pembangunan Manusia (outcome) sebagai indikator penting dalam pengukuran keberhasilan sebuah negara dalam membangun kualitas hidup penduduknya.   Hal itu berarti antara output dan outcome sistem pendidikan kita tidak selaras.

Semestinya bangsa Indonesia  dapat mencapai IPM tertinggi di dunia, mengingat kita mempunyai SDA yang sangat potensial. Apabila SDM kita memadai tentu IPM tinggi dapat dicapai.  Karena faktor pendukung tercapainya IPM tinggi adalah SDM dan SDA.

Dengan demikian berarti ada yang tidak beres dengan kualitas SDM kita. Penyebabnya adalah kesalahan pada sistem dan kurikulum pendidikan kita.  Wallahu a’lam bishawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun