Mohon tunggu...
De Kalimana
De Kalimana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Quo Vadis Pendidikan Kita; Kesalahan Sistem dan Kurikulum

1 Mei 2017   22:23 Diperbarui: 1 Mei 2017   22:56 4700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

INDONESIA

1. Sedikit PR/Tugas
1. Banyak PR/Tugas
2. Siswa tertinggal : dibantu guru
2. Siswa tertinggal : Remidial
3. Semua murid naik kelas
3. Ada sistem tidak naik kelas
3. Setahun siswa masuk selama 190 x
3. Setahun siswa masuk selama 220 x
4. Libur lebih banyak 30 hari
4. Libur sedikit
5. Waktu istirahat hampir 3 kali lebih lama
5. Waktu istirahat sedikit
6. Tidak ada sistem ranking.
6. Ada sistem ranking.
7. Siswa SD belajar 4-5 Jam/hari
7. Siswa SD belajar 6 Jam/hari
8. Siswa SMP dan SMA hanya datang pada jadwal pelajaran yang mereka pilih
8. Siswa SMP dan SMA belajar full 8 jam/hari.
9. Satu kali ujian nasional (umur 16 th)
9. Tiap semester diadakan ujian

Dengan sistem dan kurikululm yang leluasa, para pelajar di Finlandia justru bisa belajar lebih baik dan jadi lebih pintar. Sistem pendidikan di Finlandia menerapkan pola Multiple Intelligence dan titik berat kurikulumnya pada aspek afektif (sikap mental) dan psikomotorik (ketrampilan), bukan pada aspek kognitif (pengetahuan).

Pola pendidikan di Indonesia

Menurut Munif, pendidikan di Indonesia bersifat sentralisasi, semua sekolah di seluruh Indonesia mempunyai kurikulum yang sama.  Baik di kota besar maupun di pelosok desa terpencil, kurikulum pendidikan sama.  Kalaupun berbeda hanya masalah kandungannya saja karena kebijakan sang guru, tetapi materi dan jumlah pelajarannya tetap sama.

Uniknya, meskipun bersifat standar nasional namun kurikulum sering berganti-ganti seiring dengan pergantian kebijakan menteri pendidikan.  Jadi kurikulum pendidikan selalu “berganti”, bukan “berubah”. Kalau “berubah” asosiasinya adalah menyesuaikan perubahan zaman yang diikuti dengan perkembangan sains dan teknologi beserta tantangannya.  Sedangkan kalau “berganti” asosiasinya adalah menyesuaikan kebijakan pemerintah yang diwarnai oleh selera menteri atau nuansa politis.

Sejak dari dulu kurikulum pendidikan di Indonesia berorientasi pada aspek kognitif (kemampuan berfikir dan mengingat) dengan mengecilkan aspek afektif (sikap mental, moralitas, nilai, dsb), dan aspek psikomotoris (ketrampilan, karya, produktifitas, dsb).   Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan di negara-negara maju  yang berorientasi pada pola Multiple Intelligence dan titik berat kurikulumnya justru pada aspek afektif dan psikomotorik, bukan aspek kognitif.

Pendekatan sistem terhadap siswa di Indonesia yang harus belajar sesuai kurikulum yang begitu padat dan melelahkan itu menjadikan pelajar kita seperti robot. Lihat anak-anak kita yang sedang duduk di bangku SD maupun SMP bahkan SMA, tiap hari tas mereka penuh dengan tumpukan buku pelajaran yang padat. Dimanapun mereka bersekolah, baik di sekolah negeri maupun swasta, di kota maupun desa semua sama. Padahal anak-anak kita adalah manusia dengan potensi yang berbeda satu sama lain. Masing-masing mempunyai kelebihan di satu sisi, dan kekurangan di sisi yang lain.

Perlu diketahui bahwa pelajar Indonesia belajar dikelas selama 7 jam setiap hari, itu merupakan durasi waktu belajar terlama di dunia.  Demikian pula jumlah mata pelajaran, juga terbanyak di dunia.  Belum lagi ditambah tugas belajar di rumah (PR). Bila ada siswa yang nilainya kurang maka ia harus mengikuti remedial. Apabila nilainya masih rendah maka ia tidak naik kelas atau tidak lulus sekolah, sehingga harus mengulangi lagi seluruh pelajaran selama setahun.  Berbeda dengan sistem pendidikan di negara-negara maju, bila ada murid yang tertinggal maka guru memberikan perhatian khusus.

Sejumlah materi pelajaran pada kurikulum nasional dinilai masih banyak yang tidak memberi manfaat dikemudian hari. Padahal materi itu cukup susah dan dianggap sebagai materi utama, seperti materi pada mata pelajaran matematika, fisika, kimia, biologi, dan sebagainya.  Apa tujuan dan manfaat belajar logaritma, integral, menghafal unsur kimia, nama sendi pada anatomi tubuh, dan sebagainya.  90 persen mantan pelajar kita merasa materi-materi tersebut tidak bermanfaat baginya, kecuali bagi sebagian kecil yang melanjutkan kuliah atau bekerja sesuai bidangnya.  

Itu berarti penyusun kurikulum terpaku pada output tetapi tidak memperhatikan outcome, yaitu dampak jangka panjang berupa manfaat atau harapan yang diinginkan.  Penyusun kurikulum kurang atau tidak memasukkan materi pelajaran yang berorientasi pada aspek afektif dan psikomotoris. Anak didik kita tidak dibekali dengan ketrampilan yang memadai sehingga bisa berkarya dan produktif. Mereka kurang mendapat pembekalan nilai-nilai moralitas. Maka tidak heran jika banyak pejabat kita yang korup.  Sejak otonomi daerah sebanyak 70 persen kepala daerah terlibat kasus korupsi. Menurut ICW, Indonesia kini berada pada peringkat 5 negara terkorup di dunia, bahkan Indonesia pernah meraih peringkat 2 negara terkorup di dunia atau hanya kalah dari Fiji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun