Dalam acara televisi Indonesia Lawyer Club (ILC), Nusron mengatakan: “Umat Islam ini memang biasa ramai. Ramainya umat Islam itu selalu diramaikan dua hal. Kalau tidak salah paham, ya pahamnya salah. Selalu itu aja.”
Apakah pernyataan Nusran itu salah? Tidak sepenuhnya salah. Namun pernyataan itu jelas berkonotasi negatif. Pernyataan yang menyiratkan seolah umat Islam selalu bermasalah karena dua hal itu, yakni “salah paham” atau “pahamnya salah.”
Hal pertama, yaitu salah paham. Mungkin yang dimaksudkan oleh Nusran adalah adanya keragaman pandangan atau penafsiran para ulama tentang suatu dalil, baik Al Quran maupun hadist sehingga menimbulkan salah paham. Perbedaan penafsiran para ulama disebut ikhtilaf, yang timbul disebabkan oleh adanya perbedaan kecerdasan, pengalaman dan sosio-kultural para ulama, serta perbedaan dalam menyusun metode Ijtihad.
Contoh ikhtilaf adalah perbedaan dalam menentukan waktu awal puasa Ramadhan. Hal itu tidak menjadi masalah bagi ukhuwah islamiyah, justru perbedaan pandangan itu mempunyai manfaat dimana umat Islam terdorong untuk mempelajari gerakan matahari dan bulan. Nabi Muhammad bersabda, “sesungguhnya perbedaan pendapat diantara umatku merupakan rahmah.”
Hal kedua, yaitu paham yang salah. Paham yang salah bisa terjadi akibat “ketololan” atau “syahwat” yang dilandasi satu kepentingan, baik politik, ekonomi, primordial, dan sebagainya. Meskipun ada, hal kedua ini hanya sedikit. Kita bisa saksikan pada konteks Pilkada DKI saat sekarang ini.
Pada kontestasi Pilkada DKI, salah satu kandidatnya adalah Ahok. Tokoh yang fenomenal sekaligus kontroversial ini membuat para ulama dan cendikiawan Muslim terbelah menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah para ulama, cendikiawan muslim dan ustadz yang menentang Ahok terkait pernyataan surat Almaidah ayat 51. Dan golongan kedua adalah para ulama dan ustadz yang (justru) mati-matian membela Ahok.
Bisa kita saksikan bersama, para ulama dan ustadz golongan pertama adalah mereka yang mendukung sikap keagamaan MUI terkait ucapan Ahok mengenai surat Al Maidah 51. Mereka berada dalam 70 ormas Islam (Muhammadiyah, NU, Persis, Al Irsyad, dan lain sebagainya) dan 29 tokoh individual baik ulama, zuama maupun cendikiawan muslim.
Sedangkan para ulama, ustadz dan tokoh Islam golongan kedua adalah mereka yang kebanyakan berkiprah di panggung politik, seperti Nusran Wachid (Golkar), Effendi Choiri (Nasdem), Hamka Haq (PDIP) yang merupakan pendukung pemenangan Ahok. Mereka berpandangan yang bertolak belakang dengan pandangan MUI.
Mereka yang berada golongan kedua mempunyai pandangan atau paham yang bertolak belakang dengan pandangan MUI, antara lain sebagai berikut: Pertama, surat Al Maidah ayat 51 multitafsir, yang tidak boleh menterjemahkan aulia dengan pemimpin. Tetapi mereka tidak memberi penafsiran lain selain pemimpin bagi aulia. Padahal kalau membaca tafsir-tafsir yang menjadi rujukan umat Islam, mulai dari Ibnu Katsir, Ath Thabari, Al Maraghi, hingga Fi Zhilalil Quran dan Tafsir Al Azhar, tidak ditemukan multi tafsirnya.
Kedua, tidak ada yang salah dengan pernyataan Ahok, “ …jangan percaya sama orang, … dibohongi (orang) pake surat Al Maidah (ayat) 51 macam-macam itu.” Pernyataan itu bukan penistaan dan tidak menyinggung siapapun. Mereka mengabaikan kosakata “dibohongin” yang mempunyai makna ada ulama atau pihak yang berbohong dengan al Maidah 51.
Ketiga, MUI tidak melakukan tabayyun (konfirmasi) dg Ahok sebelum mengeluarkan fatwa. Tabayyun itu perintah Tuhan di dalam Al Quran. Mereka menterjemahkan tabayyun dengan konfirmasi. Padahal pengertian tabayun berasal akar kata bahasa Arab: tabayyana – yatabayyanu - tabayyunan, yang artinya meneliti; tidak tergesa. Secara terminologi tabayun berarti sebuah usaha untuk memastikan dan mencari kebenaran dari sebuah informasi sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mencari kebenaran sebuah informasi, dapat dilakukan dengan menanyakan kepada saksi, keterangan orang yang ahli dibidangnya, barang bukti atau pengakuan ybs (klarifikasi). Hal itu sesuai dg KUHAP, dg minimal 2 alat bukti. Kalau MUI tidak meminta klarifikasi kepada Ahok, bukan berarti MUI tdak melakukan tabayun.
Keempat, Ayat Al Maidah (51) tidak ada kaitannya dengan politik. Tapi tidak menjelaskan kaitannya dengan ekonomi, sosial, atau apa.
Setelah Polri menyelesaikan gelar perkara dugaan penistaan agama oleh Ahok, Kabareskrim Komjen Ari Dono, pada Rabu 16 November 2016 mengeluarkan pernyataan bahwa hasil gelar perkara menetapkan Ahok sebagai tersangka dan menyatakan bahwa perkara ini harus diselesaikan di pengadilan terbuka.
Dengan demikian maka terbukti bahwa Ahok telah dinyatakan sebagai tersangka penistaan agama. Maka apakah salah bila masyarakat menilai bahwa ulama atau ustadz atau cendikiawan muslim yang posisinya berada dilembaga politik dan menafsirkan agama sesuai dengan kepentingan politik, seperti Nusran Wachid (Golkar), Effendi Choiri (Nasdem), Hamka Haq (PDIP) yang merupakan pendukung pemenangan Ahok, adalah golongan yang "pahamnya salah", bukan "salah paham".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H