Ketiga, MUI tidak melakukan tabayyun (konfirmasi) dg Ahok sebelum mengeluarkan fatwa. Tabayyun itu perintah Tuhan di dalam Al Quran. Mereka menterjemahkan tabayyun dengan konfirmasi.  Padahal pengertian tabayun berasal akar kata bahasa Arab: tabayyana – yatabayyanu - tabayyunan, yang artinya meneliti; tidak tergesa. Secara terminologi tabayun berarti sebuah usaha untuk memastikan dan mencari kebenaran dari sebuah informasi sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mencari kebenaran sebuah informasi, dapat dilakukan dengan menanyakan kepada saksi, keterangan orang yang ahli dibidangnya, barang bukti atau pengakuan ybs (klarifikasi). Hal itu sesuai dg KUHAP, dg minimal 2 alat bukti. Kalau MUI tidak meminta klarifikasi kepada Ahok, bukan berarti MUI tdak melakukan tabayun.
Keempat, Ayat Al Maidah (51) tidak ada kaitannya dengan politik. Tapi tidak menjelaskan kaitannya dengan ekonomi, sosial, atau apa.
Setelah Polri menyelesaikan gelar perkara dugaan penistaan agama oleh Ahok, Kabareskrim Komjen Ari Dono, pada Rabu 16 November 2016 mengeluarkan pernyataan bahwa hasil gelar perkara menetapkan Ahok sebagai tersangka dan menyatakan bahwa perkara ini harus diselesaikan di pengadilan terbuka.
Dengan demikian maka terbukti bahwa Ahok telah dinyatakan sebagai tersangka penistaan agama.  Maka apakah salah bila masyarakat menilai bahwa ulama atau ustadz atau cendikiawan muslim yang posisinya berada dilembaga politik dan menafsirkan agama sesuai dengan kepentingan politik, seperti  Nusran Wachid (Golkar), Effendi Choiri (Nasdem), Hamka Haq (PDIP) yang merupakan pendukung pemenangan Ahok, adalah golongan yang "pahamnya salah", bukan "salah paham".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H