Mohon tunggu...
De Kalimana
De Kalimana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Analisis: Bila Pilgub Jakarta 2 Putaran, Ahok Bakal Kalah

2 Oktober 2016   10:37 Diperbarui: 15 Maret 2017   04:00 5208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbeda dengan daerah lain, Pilkada DKI Jakarta dimungkinkan dilakukan dalam dua putaran jika calonnya lebih dari dua pasang, karena persyaratan pemenang harus meraup minimal 50 persen +1 suara. Bagi calon gubernur petahana Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, peraturan KPU seperti ini jelas kurang menguntungkan. Bila Pilkada hanya berlangsung satu putaran maka Ahok, yang elektabilitasnya lebih tinggi dibandingkan dua kompetitor lain, bakal langsung memenangkannya. Tetapi bila berlangsung dua putaran maka Ahok diprediksi bakal kalah, karena sangat dimungkinkan perolehan suara dua kompetitornya bakal bergabung.

Tiga pasangan kontestan

Tiga poros telah terbentuk dalam kontestasi Pilkada Jakarta, yaitu Poros Teuku Umar mengusung Ahok-Jarot Saiful Hidayat (Ahok-Jarot); Poros Cikeas mengusung Agus Harimurti Yudhoyono - Sylviana Murni (Agus-Silvi); dan Poros Kartanegara mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno (Anis-Sandi).

Poros Teuku Umar yang dikomandoi Megawati Sukarno Putri merupakan koalisi dari Partai Nasdem, Hanura, Golkar dan PDIP; sedangkan Poros Cikeas yang dikomandoi oleh Susilo Bambang Yudhoyono merupakan koalisi dari Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PPP; dan Poros Kartanegara yang dikomandoi oleh Prabowo Subiyanto merupakan koalisi dari Partai Gerindra dan PKS. Jadi tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Pilkada Jakarta 2017 merupakan pertarungan 3 tokoh sentral, yaitu Megawati, SBY, dan Prabowo.

Kemunculan ketiga poros ini sangat sulit diprediksi hingga last minute menjelang pedaftaran di KPU Jakarta. Kesulitan ini karena faktor “kegalauan” Megawati dalam memutuskan pilihannya, apakah Ahok ataukah Risma. Sosok Tri Rismaharini merupakan penentu bagi terbentuknya poros Kompetitor Ahok. Bila Megawati mengusung Risma, sudah dapat dipastikan partai lain akan merapat, sebagaiman koalisi yang telah terbangun sebelumnya yaitu koalisi kekeluargaan.

Namun karena Megawati mendukung Ahok, maka koalisi kekeluargaan pecah menjadi dua poros penantang Ahok yaitu Poros Cikeas mengusung Agus -Silvi; dan Poros Kartanegara mengusung Anies -Sandi

Polarisasi dua kutub

Sejak awal bergulirnya atmosfer Pilkada DKI Jakarta, sosok Ahok telah tampil terdepan dengan menyatakan kesiapannya untuk berkompetisi di Pilkada 2017 sebagai bakal calon gubernur Jakarta. Didorong oleh relawan “Teman Ahok” dia maju melalui jalur independen. Dengan berbagai statemen dan prilaku kontroversialnya menjadikan Ahok sebagai kandidat gubernur Jakarta terpopular dengan elektabilitas sangat meyakinkan.

Berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga menunjukkan elektabilitas Ahok jauh mengungguli bakal calon gubernur lainnya yang muncul saat itu, seperti Yusril Ihya Mahendra,Sandiaga Uno, Lulung Lunggana, dan Adhyaksa Dault. Dengan elektabilitas yang sangat meyakinkan, membuat seolah Ahok tidak mempunyai penantang yang sepadan, kecuali Rismaharini, walikota Surabaya, yang tak kunjung secara tegas menyatakan kesediaan atau penolakannya.

“Fenomena Ahok” akibat kontroversi terkait karakter, kebijakan, dan latar belakangnya, serta elektabilitas yang tinggi berimplikasi terhadap prilaku politik. Konstelasi politik Pilkada Jakarta jauh hari telah memunculkan dua kutub polarisasi, yaitu kutub pendukung Ahok; dan kutub “penentang” (bukan penantang) Ahok, atau bias dikatakan dengan Kutub “Asal Bukan Ahok (ABA)”. Kutub ABA didukung oleh beberapa komunitas “anti Ahok” dan sejumlah partai politik yaitu Partai Demokrat, Partai Gerindra, PAN, PKB, PPP, dan PKS.

Meskipun alasan verbal Kutub ABA mengusung Cagub alternatif adalah hasil survei yang menunjukkan aspirasi mayoritas masyarakat Jakarta yang menginginkan figur baru sebagai pemimpin Jakarta, namun sesungguhnya ada dua alasan utama, yaitu; Pertama, tidak menyukai karakter Ahok yang keras, kasar, tidak santun, dan tidak bijak, serta kebijakannya yang tidak berpihak pada kalangan bawah. Kedua, masyarakat Jakarta yang mayoritas muslim tidak menghendaki pemimpin yang non-muslim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun