Mohon tunggu...
De Kalimana
De Kalimana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

5 Sebab Kegalauan Megawati Memilih Ahok

10 September 2016   11:31 Diperbarui: 10 September 2016   12:04 2657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tinggal hitungan beberapa hari lagi menjelang pendaftaran Cagub DKI, PDIP masih belum menentukan dukungannya kepada salah satu kandidat yang telah muncul. Hal itu disebabkan karena Megawati masih galau, apakah mendukung Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok sebagai Cagub DKI petahana, atau mengusung calon lain, semisal Tri Rismaharini, kader partainya yang menjadi kebanggan masyarakat Surabaya. Kegalauan itu muncul karena beberapa sebab, antara lain:

Pertama, Ahok tidak mendaftar konvensi PDI-P. Proses penjaringan Cagub DKI-1 merupakan mekanisme demokratisasi yang dibangun oleh PDIP dalam menghadapi Pilgub DKI 2017 dan sudah berlangsung cukup jauh dan terbuka. Hingga hari terakhir pendaftaran pada proses penjaringan tersebut telah terkumpul 32 calon yang mendaftar, namun Ahok  tidak ikut dalam mekanisme demokratisasi PDIP itu lantaran telah menyatakan akan maju lewat jalur independen sesuai saran relawan TemanAhok.  Banyak pihak menekan agar PDIP konsisten dengan mekanisme demokaratisasi internal yang sudah dibangun.  Apabila PDIP mengusung atau mendukung Ahok, maka itu berarti Megawati mengorbankan kredibilitas partai demi seorang Ahok.  Tentu Megawati keberatan apabila PDIP diberi stigma sebagai partai yang tidak konsisten alias plin-plan.

Kedua, Pernyataan Ahok mengenai mahar politik.   Disaat sejumlah Parpol tengah melakukan proses penjaringan balon gubernur DKI, Ahok mengemukakan alasan kenapa dia lebih memilih jalur independen ketimbang melalui parpol untuk bertarung di Pilgub DKI 2017. Secara blak-blakan, Ahok menyebut butuh uang Rp 26 miliar hanya untuk memulai kampanye dalam rentang waktu 10 bulan. Jumlah itu pun hanya perhitungan kasar, setidaknya butuh mahar Rp 100 miliar jika dirinya didukung oleh dua partai, dan itupun belum termasuk mahar partai.   Secara tidak langsung, ungkapan ini menuduh Parpol minta sejumlah dana sebagai upeti untuk mengusung Balon DKI-1, hal ini juga tertuju kepada PDIP.  Menanggapi mahar politik yang dilontarkan Ahok, salah satu kader terbaik PDIP, Tri Rismaharini  memastikan proses politik di partainya bersih dari mahar. Oleh karena itu, Risma menilai opini yang berkembang di masyarakat, terkait mahar politik telah menjatuhkan kredibilitas PDIP, dan itu tidak benar adanya.

Ketiga, Bila Ahok menang maka itu bukan kemenangan PDIP.  Ahok maju di Pilkada 2017 melalui jalur Parpol bersama Partai Nasdem, Hanura dan Golkar. Dukungan ketiga parpol sudah melalui surat dukungan resmi yang ditandatangani ketua umum dan sekjen masing-masing.  Salah satu yang menjadi pertimbangan ketiga Parpol mendukung Ahok karena elektabilitasnya yang tinggi, dari beberapa kali hasil survei, dibanding beberapa kandidat lain.   Jadi apabila PDIP mengusung Ahok dan memenangi kontestasi Pilkada DKI maka itu bukan berarti kemenangan bagi PDIP, karena Nasdem diketahui sebagai partai pertama dan utama pendukung Ahok meski melalui jalur independen, sedangkan PDIP merupakan partai terakhir.  Sehingga bias dikatakan apabila Ahok memenangi Pilkada DKI 2017, maka kemenangan Ahok merupakan kemanangan Nasdem sebagai pendukung utama.

Keempat, PDIP punya kader Risma yang berpeluang besar.  Salah satu kader PDIP, Tri Rismaharini yang saat ini walikota Surabaya, merupakan salah satu kandidat kuat untuk memenangi Pilkada DKI 2017.  Risma banyak mendapat dukungan kuat dari masyarakat kelas menengah kebawah untuk maju menantang Ahok .  Berdasarkan beberapa hasil survei, elektabilitas Risma terus meningkat. Hal sebaliknya, Ahok justru mengalami tren yang terus melorot. Menurut Lembaga Survei Katapedia, Elektabilitas Risma terus menaik selama pemantauannya sejak 23 Juli-6 Agustus 2016, bahkan sempat melebihi Ahok pada 4 Agustus 2016: Risma 54,8 persenversus Ahok 45,2 persen.   Apabila Risma berhasil memenangi Pilkada DKI nanti, maka itu adalah mutlak kemenangan PDIP, meskipun Risma didukung oleh sejumlah Parpol lain karena selain Risma sebagai kadernya leading sectornya adalah PDIP.

Kelima, Ahok mempunyai resistensi besar.  Dalam pertarungan kandidat politik, ada tiga pihak yang berpengaruh langsung, yaitu kelompok pendukung, kelompok penentang (resisten) dan kelompok yang tidak mendukung (tetapi tidak anti atau resisten). Bagi Ahok, kelompok resisten cukup besar, yakni satu, dari kalangan kelas bawah, yang selama ini menjadi korban kebijakan Ahok. Dua, dari kalangan pribumi yang masih belum bisa menerima etnis lain.  Dan tiga, dari kalangan masyarakat muslim fanatik, yang meyakini haramnya memilih pemimpin non muslim.  Kelompok resisten ini cukup besar, dan karena sebagian besar dari kalangan bawah maka selama ini suaranya tidak terdengar nyaring. Namun kelompok ini justru akan muncul menjadi kekuatan riil pada saat pemungutan suara. Berbeda dengan Risma, ia hanya berhadapan dengan kelompok yang tidak mendukungnya karena alasan politis, tetapi tidak resisten atau antipati terhadapnya.

Itulah kegalauan Megawati terhadap Ahok. Apabila PDIP mendukungnya, dapat dipastikan 99,9 persen Ahok bakal memenangi Pilkada DKI, karena tidak ada lawan yang sepadan dengan Ahok selain Risma. Tetapi apabila PDIP tidak mendukung Ahok maka harus mengusung Risma, peluangnya fifty-fifty. Itu semua bergantung pada Megawati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun