Pengambilan kebijakan ekonomi sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik yang berpengaruh terhadap stabilitas politik. Kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah, seperti kebijakan fiskal, moneter, dan perdagangan, dapat memengaruhi stabilitas politik suatu negara. Misalnya, kebijakan yang menyebabkan inflasi tinggi atau pengangguran dapat menimbulkan ketidakpuasan masyarakat dan memicu protes atau perubahan pemerintahan. Seperti kita ketahui, keputusan politik menentukan arah kebijakan ekonomi, seperti prioritas pembangunan, regulasi pasar, dan kebijakan perdagangan. Perubahan pemerintahan dapat membawa perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi (Acemoglu & Robinson, 2012). Hal itulah yang saat ini terjadi, Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam mengelola kebijakan fiskal yang mampu mendukung pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga kesejahteraan masyarakat.Â
Salah satu kebijakan terbaru yang dikeluarkan pemerintah adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang berlaku pada 2025, alias setara dengan kenaikan sebesar 9,09% dari PPN sebelumya sebesar 11%. Hal itu diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada pada (06/12/2024) lalu. Ia menegaskan penerapannya akan dilaksanakan sesuai undang-undang dan secara selektif hanya berlaku untuk barang-barang mewah sementara barang pokok kebutuhan sehari-hari (beras, gaging, ikan, telur, sayur, susu segar, gula konsumsi); Jasa pendidikan; Jasa kesehatan; Jasa transportasi umum; Jasa tenaga kerja; Jasa keuangan dan asuransi; Rumah sederhana, pemakaian listrik dan air minum sehingga perlindungan terhadap rakyat kecil tetap menjadi prioritas pemerintah (Antara, 2024).
Adapun dalam bahan paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani dirincikan, beberapa contoh barang mewah yang sebelumnya dibebaskan PPN, kini akan dikenakan PPN. PPN atas Bahan Makanan Premium: Beras premium, Buah-buahan premium, Daging premium (wagyu, daging kobe), Ikan mahal (salmon premium, tuna premium), Udang dan crustacea premium (contoh: king crab), PPN atas jasa pendidikan premium, PPN atas jasa pelayanan kesehatan medis premium, dan Pengenaan PPN untuk listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA. Pertimbangan kebijakan ini karena mayoritas kelompok paling kaya yakni desil 9 dan 10 paling banyak menikmati fasilitas pembebasan PPN ini. Kebijakan ini juga akan menyasar layanan hiburan digital, seperti Netflix dan Spotify.ÂMeskipun diklaim untuk melindungi rakyat kecil, hal ini perlu diawasi agar tidak menciptakan celah yang justru memperburuk kesenjangan akses bagi masyarakat kelas menengah. Alih-alih berburu pajak orang kaya yang diprediksi memberikan tambahan bagi penerimaan negara Rp80 triliun, pemerintah justru menggenjot pajak yang menyasar 280 juta rakyat Indonesia yang didominasi kaum kelas menengah. Selain itu, ketentuan pajak untuk barang mewah sudah diatur dalam Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 61 tahun 2020. Wacana kebijakan ini juga menimbulkan perdebatan di antara para pakar, baik karena potensi kenaikan harga barang secara umum maupun kerumitan administrasinya. Sejumlah pengamat ekonomi menilai jika PPN 12% hanya menyasar barang mewah, akan membingungkan dan membuat sistem pajak semakin rumit. Hal ini berpotensi menyebabkan tumpang-tindih aturan. Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira (Celios) menyoroti potensi adanya kebingungan dalam implementasi di lapangan, terutama bagi toko yang menjual barang dengan tarif PPN berbeda. Achmad Nur Hidayat (UPN Veteran Jakarta) menyebut bahwa batasan barang mewah sering tidak sesuai dengan daya beli masyarakat menengah ke bawah, sementara kenaikan PPN bisa menurunkan daya beli dan memicu inflasi yang berdampak terhadap konsumsi, UMKM, dan pasar domestik yang merupakan pilar utama ekonomi kita.
Pada akhirnya, risiko kemiskinan semakin naik karena kelas menengah dan pekerja semakin susah menjaga standar hidup mereka. Terlebih, data BPS yang dipaparkan Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Rabu (28/8/2024) menunjukan jumlah kelas menengah terus menurun dari 57,33 juta orang pada 2019, menjadi 47,85 juta orang pada 2024 yang artinya kelompok miskin dan rentan turut mengalami kenaikan (Databoks, 2024).
Dalam paradigma ekonomi konvensional seperti perspektif ekonomi Karl Marx, kebijakan ini mencerminkan perjuangan kelas antara kapitalis, yang diwakili oleh pemerintah dan pelaku usaha besar, dengan kelas pekerja. Meskipun kenaikan PPN ditujukan untuk barang mewah, inflasi yang tidak terkendali dapat berdampak lebih besar pada kelas bawah. Hal ini menciptakan ketimpangan yang memperburuk kondisi masyarakat rentan.
Pada saat yang sama, pemerintah juga menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Mimimum Kota (UMK) sebesar 6,5% untuk 2025 dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum (Antara, 2024) dengan harapan dapat meningkatkan daya beli pekerja di tengah inflasi dan potensi kenaikan harga akibat perubahan PPN. Namun, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, mengkhawatirkan dampaknya pada biaya operasional dan menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru yang dapat menyebabkan PHK atau perlambatan perekrutan pekerja baru. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat menyatakan kenaikan UMP 6,5% tidak sesuai dengan kondisi buruh saat ini, karena harga barang melonjak. Kecuali, harga sembako dan harga pangan diturunkan, maka Mirah merasa bisa kenaikan UMP bisa menaikkan daya beli.Â
Di sisi lain, rendahnya tingkat tabungan pensiun masyarakat Indonesia menunjukkan lemahnya jaminan kesejahteraan jangka panjang, terutama bagi pekerja dengan penghasilan rendah. Dengan daya beli masyarakat yang rendah, tabungan dana pensiun tetap menjadi tantangan besar. Kenaikan harga akibat PPN dan inflasi dapat semakin mengurangi kemampuan masyarakat untuk menabung. Sementara itu, kenaikan UMP mungkin hanya memberikan dampak terbatas jika inflasi atau kenaikan biaya hidup lebih besar. Tabungan dana pensiun di Indonesia hanya mencapai 6% dari PDB, jauh dari idealnya yaitu 60% dari PDB (Antara, 2024). Rendahnya pendapatan rata-rata masyarakat dan tingginya beban tanggungan generasi sandwich juga memperburuk situasi. Simulasi menunjukkan, untuk memiliki dana pensiun memadai, seseorang harus berpenghasilan minimal Rp6,5 juta dan menabung Rp2,5 juta per bulan selama 31 tahun. Namun, masyarakat hanya mampu menabung sekitar 3% dari gaji bersih. Ketergantungan finansial menjadi tantangan besar, dengan age dependency ratio Indonesia mencapai 46,9%. Biaya perawatan lansia di kota besar juga merupakan salah satu tanggungan anggota keluarga produktif dengan biaya mencapai Rp4,5-6 juta per bulan, namun dana pensiun masyarakat Indonesia rata-rata hanya 10% dari gaji saat produktif, jauh dari standar ILO yang merekomendasikan minimal 40%. Lantas, bagaimana dengan warga bergaji UMR (Rp2 juta-Rp5 juta)? maka dana pensiun yang didapatkan hanya sebesar Rp200 ribu - Rp500 ribu per bulan. Â Akibatnya, banyak orang tua tetap bekerja atau bergantung pada anak-anak mereka.
Bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap berbagai lapisan masyarakat, kepentingan politik di baliknya, serta bagaimana hal itu memengaruhi pembangunan ekonomi secara keseluruhan? Ketiga isu ini saling terkait dan memengaruhi berbagai aspek stabilitas ekonomi dan sosial di negara ini. Kebijakan politik, seperti undang-undang ketenagakerjaan dan upah minimum, mempengaruhi pasar tenaga kerja dan kondisi ekonomi. Meskipun kebijakan yang mendukung perlindungan pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga dapat mempengaruhi biaya produksi dan daya saing (Stiglitz, 2015).
Dari perspektif Keynesian, kenaikan UMP merupakan langkah yang baik untuk meningkatkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya dapat merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun, peningkatan biaya operasional akibat kenaikan UMP dapat mengurangi investasi di sektor swasta. Ini karena perusahaan harus menanggung biaya lebih tinggi dalam upah, yang bisa mengarah pada pengurangan margin keuntungan, atau bahkan pemotongan lapangan kerja dan pengurangan ekspansi bisnis. Pemerintah perlu memberikan insentif bagi dunia usaha untuk menjaga keberlanjutan bisnis mereka. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan jika saat ini pemerintah menyiapkan soal paket kebijakan ekonomi sebagai untuk menekan dampak kenaikan PPN. Pemerintah telah menyiapkan insentif berupa Paket Stimulus Ekonomi untuk tiga sektor, yaitu rumah tangga, kelas menengah, dan dunia usaha. Namun, pemberian stimulus ini harus tepat sasaran. Jika insentif tidak diarahkan dengan baik, maka hanya segelintir sektor atau kelompok yang mendapat manfaat, sementara sebagian besar masyarakat atau sektor usaha lainnya tetap merasakan dampak negatif dari kenaikan PPN atau UMP. Selain itu, Ketergantungan berlebihan pada stimulus fiskal bisa menciptakan masalah jangka panjang, seperti defisit anggaran yang tinggi dan utang pemerintah yang membengkak dan berujung menimbulkan ketidakstabilan ekonomi.
Lebih lanjut, kita bisa melihat paradigma Ekonomi Politik Baru (EPB) memandang kebijakan ekonomi pemerintah saat ini. Kebijakan ekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh dinamika politik yang kompleks (Cohn, 2014). Jika ilmu ekonomi menjelaskan fenomena pasar pertemuan antara penjual dan pembeli, maka EPB dapat menjelaskan konsep pasar politik. Pijakan dasar pasar politik adalah conctitutional games (konstitusi dan demokrasi). Tidak menutup kemungkinan praktik power game masih berlaku. Dalam teori Pilihan Publik (Public Choice) sebuah perspektif bidang sosial politik yang muncul dari pengembangan dan penerapan perangkat dan metode ilmu ekonomi yang berguna untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan kolektif dan berbagai fenomena nonpasar. Elemen pokok dari perspektif public choice adalah Pendekatan Pertukaran (Catallactics). Yang kedua adalah konsep Postulat Homo Economicus, konsep ini dipakai untuk menjelaskan perspektif public choice yang bersifat inklusif dengan memandang bahwa manusia cenderung memaksimalkan utilitas untuk dirinya karena dihadapkan pada kenyataan akan kelangkaan sumber daya yang dimilikinya.Â
Isu kenaikan PPN 12%, kenaikan UMP 6,5%, dan rendahnya tabungan pensiun di Indonesia bisa kita lihat dari perspektif Pilihan Publik (Public Choice). Sementara, Pendekatan Catallactics tercermin pada kenaikan PPN dan UMP, yang merupakan hasil pertukaran kepentingan dalam pasar politik antara pemerintah, buruh atau pekerja, dan pengusaha, dengan praktik negosiasi dan power game yang memengaruhi kebijakan untuk mendapatkan hasil yang menguntungkan bagi mereka, meski kadang mengorbankan kepentingan publik. Kebijakan PPN dan UMP dapat dilihat sebagai hasil kompromi antara kepentingan politik untuk menaikkan pendapatan negara dan kebutuhan untuk menjaga stabilitas sosial. Sementara itu, rendahnya tabungan dana pensiun di Indonesia mencerminkan konsep Postulat Homo Economicus, dengan penghasilan rendah dan banyaknya tanggungan finansial, masyarakat lebih memilih memaksimalkan utilitas jangka pendek akibat keterbatasan sumber daya, sehingga mengorbankan persiapan jangka panjang seperti dana pensiun.Â