partai politik.
Pemilu merupakan salah satu mekanisme yang berkembang karena faktor demografis. Di era modern jumlah masyarakat meningkat pesat diiringi juga dengan meningkatnya aspirasi dan kepentingan masyarakat yang semakin beragam sehingga lahirlah demokrasi perwakilan dengan pemilu sebagai mekanisme bagi masyarakat pada wilayah tertentu untuk memilih wakilnya melaluiDi sini lah partai politik akan berperan sebagai penampung aspirasi yang kemudian menggabungkan aspirasi-aspirasi yang senada atau disebut dengan agregasi kepentingan (interest aggregation) setelah digabungkan, aspirasi-aspirasi tersebut akan diolah menjadi lebih lebih teratur agar tidak terjadi benturan antar kepentingan atau disebut dengan (interest articulation).
Edmund Burke mengatakan, "Partai adalah kumpulan orang-orang yang bersatu untuk memajukan kepentingan nasional melalui upaya bersama, berdasarkan suatu prinsip yang disepakati bersama." Sekali lagi kata kuncinya adalah "prinsip”. Sementara itu Sigmund Neumann dalam buku karyanya "Modern Political Parties" mengatakan, bahwa partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga- lembaga pemerintahan yang resmi.
Merujuk pada pengertian partai politik dari kedua ahli tersebut menunjukkan peran ideologi dan fungsi partai politik sangat berperan penting. Sekiranya ada lima (5) faktor alasan mengapa negara seringkali sangat berkaitan erat dengan partai politik.
Menjaga basis partai dengan instrumen negara
Pemberdayaan anggota partai politik sebagai sumber daya dalam suatu pemerintahan negara (legitimasi dan representasi)
Pengambilan Keputusan (Kebijakan Publik)
Kontrol dan Pengawasan
Pendanaan Partai Politik dari APBD/APBN sebagai keuntungan sumberdaya publik
Di Indonesia sendiri sejak era Orde Baru partai politik dengan garis ideologi yang sangat jelas mulai hadir dan berkontestasi dalam Pemilu 1999. Saat itu ada tiga partai politik yang hingga kini eksistensinya masih bertahan, yaitu: Partai Golkar, PDIP, dan PPP.
Dari ketiga partai tersebut Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memiliki latar belakang ideologis sebagai partai Islam yang mewarisi tradisi politik Islam di Indonesia. Ideologi ini menjadi basis dukungan bagi partai tersebut, namun juga dapat menjadi batasan dalam menarik dukungan lintas ideologi. Ketiga partai tersebut pun masih turut serta mewarnai kontestasi pemilu 2024 kemarin.
Namun, Siapa sangka di Pemilu Legislatif 2024 ini, Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dinyatakan tidak lolos ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) karena berdasarkan rekapitulasi hasil pemilu yang dilakukan KPU RI, PPP belum melewati ambang batas parlemen yakni 3,87 persen dengan jumlah suara 5.878.777 suara.
Sementara Parliamentary Threshold pada Pemilu 2024 ini sebesar 4% sebagaimana ditetapkan pada UU NO. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Hal ini menjadi pil pahit bagi PPP karena untuk pertama kalinya PPP tidak melenggang ke Senayan.
Pasalnya PPP telah lahir pada 5 Januari 1973, yang merupakan fusi (gabungan) dari empat partai Islam, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Kemunculannya adalah hasil dari perjuangan pemerintah Orde Baru untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia.
Selama pemilu legislatif tahun 1999 hingga Pemilu 2019 di era reformasi PPP selalu menduduki kursi parlemen meski perolehan suara PPP nyaris selalu menurun.
Kemerosotan suara PPP dalam pemilu 2024 ini, nampaknya disebabkan karena berbagai faktor. Faktor eksternal seperti isu-isu politik, ekonomi, dan sosial juga berpengaruh dalam keberhasilan sebuah partai politik mencapai Parliamentary Threshold. Kompetisi politik yang semakin ketat dan dinamika politik yang berubah-ubah juga menjadi faktor penting dalam analisis ini. PPP harus mampu bersaing dengan partai lain yang memiliki basis massa dan sumber daya yang lebih besar.
Partai politik baru yang bermunculan khususnya partai Islam baru yang pada akhirnya menyebabkan terpecahnya suara dan terjadinya pemborosan suara (wasted votes). PPP pun kehilangan basis massanya, termasuk pemilih NU yang berpindah ke PKB atau memilih partai nasionalis PDIP serta kehadiran PKS sebagai Partai Islam dengan pendekatan modernnya, konsisten sejak pemilu 2024 persentase suaranya selalu di atas 6% itu bisa terjadi karena proses pembinaan kader partai yang terstruktur dan konsisten serta bisa juga massa PPP yang berpindah ke partai-partai lain yang bergolongan nasionalis.
Di sisi lain, besaran ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) yang setiap tahun pemilu cenderung meningkat dilakukan guna mencapai upaya penyederhanaan partai politik di parlemen sehingga pada Pemilu 2024 ambang batas parlemen masih di angka 4%.
Parliamentary Threshold juga bisa menjadi salah satu faktor yang mempersulit PPP untuk menembus parlemen yang sudah semakin kehilangan basis suaranya. Hal itu membuktikan bahwa PT 4% ini bukan hanya efektif memangkas partai cilik seperti PSI, Gelora, Ummat namun juga dapat membantai partai besar sekelas PPP yang telah established sejak Orde Baru.
Pada pemilu serentak 2024 dilakukan saat gencar-gencarnya perkara gugatan ambang batas parlemen (Parliament Threshold) 4% yang dilakukan oleh Perludem ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum.
Perubahan PT itu bertujuan untuk mengedepankan prinsip proporsionalitas dan meminimalisir disproporsionalitas hasil pemilu guna menghindari semakin besarnya suara yang terbuang (wasted votes) sehingga yang diperjuangkan adalah kedaulatan rakyat.
Perludem meminta MK untuk menghitung dan rasionalisasi ulang besaran PT agar kemudian tidak terjadi disproporsionalitas hasil pemilu. Perludem juga mengajukan formula perhitungan ulang besaran efektif PT sebesar 1% sebagai bentuk Parliamentary Threshold yang Afirmatif, tetapi MK menolaknya namun MK akan menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk merasionalisasi ulang besaran PT tersebut.
Perludem berharap pembentuk undang-undang harus mematuhi putusan MK secara penuh agar tidak terjadi pelaksanaan yang tidak sesuai dengan putusan MK sebelumnya. MK memutuskan ambang batas parlemen 4% harus diubah sebelum Pemilu 2029, namun tetap konstitusional untuk Pemilu 2024 dengan syarat telah dilakukan perubahan norma ambang batas parlemen serta besaran angka ambang batas.
Gagalnya PPP menembus Parliamentary Threshold bisa jadi disebabkan oleh keterbatasan strategi politik, seperti kurangnya sinergi dengan partai lain, strategi kampanye yang kurang efektif, atau kurangnya daya tarik bagi pemilih di luar basis tradisional PPP mengingat dalam periode pemilu era reformasi di Indonesia ada banyak partai politik. Hal itu dikarenakan adanya pembelahan masyarakat (social cleavages) yang disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya negara dan agama.
Perilaku pemilih dalam Pemilu 2024 ini juga turut serta mempengaruhi perolehan atau persentase suara yang didapatkan oleh PPP. Pasalnya, di era reformasi saat ini masyarakat Indonesia cenderung tidak melihat ideologi atau isu-isu agama sebagai faktor utama, melainkan faktor-faktor seperti geopolitik, kesejahteraan sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan sebagai faktor yang cukup krusial.
Selain itu, faktor internal seperti perpecahan internal PPP, penggembosan di lumbung suara, minimnya publik figur, kegagalan kaderisasi, kegagapan menggaet pemilih muda, dualisme internal partai, dan kasus korupsi yang menerpa PPP sebanyak dua kali berturut-turut. Pada tahun 2014 Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dinyatakan sebagai tersangka korupsi penyelenggara haji 2010-2013 disusul pukulan besar terhadap PPP dengan terjaringnya operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK kepada Romahurmuziy selaku Ketua Umum PPP atas kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag) yang terbukti menggerus elektabilitas partai di Pemilu Legislatif 2019. PPP sebagai studi kasus menggambarkan bahwa PT bukan hanya menjadi tantangan yang dihadapi partai-partai cilik namun juga partai besar yang sudah lama bermain di kancah perpolitikan Indonesia dalam sistem politik yang kompetitif seperti Indonesia.
Sebelum kasus OTT Romahurmuziy selaku Ketum PPP pada 2019, strategi marketing politik PPP memasang target untuk memperoleh kemenangan 8% suara pada tingkat nasional.
Untuk mencapai target tersebut, maka PPP menempuh beberapa strategi antara lain: melakukan kunjungan ke pondok pesantren, pendekatan terhadap generasi milenial, memperkenalkan brand baru, dan mendukung pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin. Meskipun hasil rekapitulasi suara PPP pada Pemilu 2019 mengalami penurunan namun strategi marketing tersebut masih berhasil membuat suara PPP bertahan melewati ambang batas parlemen 4%. S
ayangnya, kemerosotan suara PPP di pemilu 2019 dengan perolehan suara sebesar 4,52% yang sangat tipis dengan ambang batas parlemen 4% ini tidak direspon sebagai sinyal peringatan bagi Partai berlambang Ka’bah ini untuk meningkatkan basis suaranya di pemilu 2024. Kemerosotan suara PPP dan gagalnya PPP sebagai partai besar yang bisa dibilang cukup established dalam memenuhi ambang batas parlemen menunjukkan kompleksitas peran ideologi dan fungsi partai politik dalam mencapai efektivitas Parliamentary Threshold.
Dalam menjalankan fungsi Partai Politik, PPP dalam konteks ini harus mampu menjalankan fungsi-fungsinya sebagai agen sosialisasi politik, mobilisasi massa, dan rekruitmen elite. Fungsi-fungsi ini penting untuk memperkuat identitas partai dan membangun basis massa yang kuat. Sebagai salah satu contoh masalah kaderisasi di dalam PPP patut untuk dibenahi pasalnya sejak banyak kader bahkan Ketua Umum PPP yang tersandung kasus korupsi, legitimasi masyarakat terhadap PPP pun berkurang apalagi PPP dirasa tidak mampu merepresentasikan ideologi Islam yang mengedepankan kejujuran sebagai modal utama.
Kegagalan kaderisasi PPP seharusnya menjadi sebuah pembenahan bagi PPP, karena partai politik juga berfungsi sebagai sarana Rekrutmen Politik, Fungsi ini berkaitan dengan seleksi kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional secara luas. Untuk kepentingan internal partai, setiap partai membutuhkan kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan memiliki kader yang kompeten dan berkualitas, partai memiliki peluang yang lebih besar untuk mengembangkan diri sehingga partai juga memiliki peluang yang lebih besar untuk mengajukan calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan nasional.
Selain itu, partai juga memiliki kepentingan untuk memperluas atau memperbanyak keanggotaan partai, maka partai dapat membuat organisasi-organisasi massa dengan tingkatan yang berbeda-beda sehingga dapat menjaring keanggotaan dari setiap kalangan publik. Dengan adanya rekrutmen politik ini menjamin adanya kontinuitas dan kelestarian partai, dan juga menjaring serta melatih calon-calon pemimpin.
Selain fungsi rekrutmen, sebuah partai politik yang baik juga harus berfungsi sebagai sarana Pengatur Konflik (Conflict Management) dan mampu menunjukan pola komunikasi yang baik. Partai politik dituntut untuk mampu mengatur konflik baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, dalam kehidupan masyarakat yang bersifat heterogen karena perbedaan baik dari segi agama, suku, maupun status sosial ekonomi yang pasti berpotensi menimbulkan konflik. Dalam kondisi seperti ini partai politik diperlukan sebagai penghubung psikologis dan organisasional masyarakat yang mampu menjadi penengah yang memberikan pengertian di antara masyarakat.
Sehingga konflik bisa diredam atau setidaknya dampak-dampak buruknya dapat diminimalisir. Sedangkan secara horizontal, untuk mendapatkan legitimasi masyarakat, partai politik harus menjaga stabilitas partai Namun, sejak lama banyak konflik internal PPP yang terus bergulir, di antaranya: Konflik John Naro dan Fraksi NU di PPP (1979), Konflik dualisme Suryadharma Ali-Djan Faridz, dan Romahurmuziy (2014), hingga pemberhentian Suharso Monoarfa sebagai Ketum PPP (2022). Mampukah melakukan komunikasi politik yang intens dan produktif?
Terdapat 3 unsur penting dalam partai politik yang saling berkaitan sebagai sarana Komunikasi Politik, yaitu: penyaluran (channelment), komunikasi (communication), dan ekspresi (expression). Dalam analisis ini, komunikasi dilibatkan dalam proses ekspresif dan penyaluran namun komunikasi memiliki makna serta keterlibatan yang sangat universal sehingga proses ekspresif tidak sama dengan komunikasi namun ekspresif melibatkan komunikasi.
Partai kemudian dianggap sebagai "jaringan komunikasi” yang secara fungsional mengkhususkan diri dalam pengumpulan komunikasi politik untuk suatu pemerintahan.” Ekspresif diartikan sebagai bentuk pluralisme partai-partai dalam sistem kepartaian selagi penyaluran merupakan proses lanjutan dari ekspresi berupa konsolidasi atau persatuan partai-partai karena dalam sistem komunikasi ekspresif akan memungkinkan warga berkomunikasi dengan negara sehingga rakyat dan pemerintah saling terhubung dan menciptakan negara tetap terkendali.
Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya mencapai salah satu indikator demokrasi yang berkualitas yaitu vertical accountability (pertanggungjawaban partai politik kepada rakyat) dan horizontal accountability (pertanggungjawaban antar internal maupun eksternal partai politik). Terlahir, sebagai sarana Sosialisasi Politik, Partai politik memainkan peran penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai politik kepada masyarakat. Proses sosialisasi ini dilakukan melalui berbagai cara, seperti media massa, ceramah, kursus kader, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk menciptakan citra partai sebagai pejuang kepentingan umum (ini penting jika dikaitkan dengan tujuan partai untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum).
Oleh karena itu, partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin, dan partai berkepentingan agar para pendukungnya mempunyai solidaritas yang kuat dengan partainya), mendidik anggota partai menjadi warga negara yang bertanggung jawab (sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional), dan di negara-negara yang baru merdeka, partai politik juga berperan dalam memupuk identitas nasional dan integrasi nasional.
Sekiranya itulah fungsi-fungsi yang harus diperhatikan bukan hanya oleh PPP sebagai partai politik yang sudah lama berdiri dan sudah banyak mendapatkan tantangan dalam mempertahankan eksistensinya di kancah perpolitikan Indonesia, namun juga hal ini perlu menjadi perhatian lebih bagi partai-partai cilik yang baru muncul dan berkembang sebagai entitas politik dalam pusaran demokrasi Indonesia.
Sistem kepartaian muncul untuk mengatasi masalah mendasar dalam demokrasi yaitu mendamaikan kepentingan individu dengan kebaikan masyarakat. Pluralisme partai, yang mencakup berbagai sudut pandang dalam proses politik, dipandang sebagai cara untuk mencegah dominasi satu partai tunggal dan memastikan representasi berbagai kepentingan dalam masyarakat. Partai akan bekerja dengan baik apabila mampu menyeimbangkan kepentingan umum dan kepentingan partai.
Dalam sistem kepartaian dijelaskan bahwa partai yang hanya mewakili sebagian kecil masyarakat dianggap "buruk" karena tidak mampu mewakili keseluruhan yang baik. Namun, kembali lagi fungsi partai politik akan bergantung pada kondisi atau latar belakang suatu negara. Partai politik memiliki peran penting dalam sistem politik Indonesia, dengan berbagai fungsi yang mereka emban. Parliamentary Threshold menjadi mekanisme yang mengatur keberadaan partai politik dalam sistem kepartaian Indonesia, meskipun telah menuai kritik terutama terkait dengan representasi politik yang lebih inklusif. Analisis kegagalan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam pemilu era reformasi menunjukkan betapa pentingnya pemahaman terhadap sistem kepartaian dalam konteks perubahan politik di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H