Semarang. Terletak di sisi paling timur, berbatasan dengan Demak. Menurut bahasa, genuk berarti gentong kecil tempat untuk menyimpan beras. Tetapi tak ada jejak 'gentong beras" di sini.
GENUK adalah sebuah kecamatan di KotaDari namanya, kita mungkin membayangkan Genuk sebagai kawasan pertanian. Dulu iya, tetapi sekarang tidak. Lanskap wilayah genuk sudah lama berubah. Dari pertanian menjadi kampung urban. Industrialisasi masif di kecamatan 'pemilik' Stasiun Alas Tua ini terlihat dengan sejumlah kawasan industri.
Areal persawahan sudah sangat sedikit. Belum punah memang. Masih ada beberapa daerah yang digunakan sebagai lahan pertanian.
Meski demikian, Genuk setidaknya masih lebih baik dibanding Kelurahan Sawah Besar (Kecamatan Gayamsari). Cuma namanya saja 'sawah besar'. Tetapi sudah tidak ada sawah secuil pun.
Meski genuk sudah berubah menjadi kota industri, masih bisa kita jumpai sejumput peninggalan sejarah di kecamatan ini. Baik peninggalan kebudayaan Islam maupun Hindu. Beberapa peninggalan kebudayaan Islam di antaranya sejumlah sumur tua peninggalan Walisongo. Terdapat di kampung Sumur Adem (Bangetayu Kulon) dan beberapa tempat lain. Kemudian sumur peninggalan Mbah Jago di Penggaron Lor. Serta langgar deprok, sebuah masjid kuno di Kelurahan Banjardowo.
Adapun peninggalan Hindu di antaranya arca Sapi Nandini di Kelurahan Penggaron Lor. Situs sejarah itu masih terpelihara, namun arca berwujud sapi sedang menderum itu sudah tidak berada di lokasi. Menurut keterangan warga, benda-benda tersebut sudah diamankan petugas purbakala.
Menurut situs Mongabay, Nandini adalah sapi tunggangan Dewa Siwa. Patung sapi Nandhini biasanya dalam kondisi sapi tersebut menderum atau tiduran.
Saya pernah membuat tulisan sederhana tentang situs peninggalan Hindu tersebut. Sudah lama sekali, lupa tahun berapa. Saya justru menemukan 'arsip' tulisan tersebut di sebuah akun facebook entah milik siapa. Termasuk foto Mat Bakri, pria yang saya wawancarai. Berikut akun facebook tersebut. Tampaknya akun tersebut milik warga di sekitar peninggalan kuno tersebut.
Saya harus berterima kasih pada pemilik akun facebook yang telah mengarsipkan tulisan saya itu.
Berikut (sebagian) tulisannya.
MAT BAKRI Angon Sapi Watu
SUDAH puluhan tahun Mat Bakri ketiban amanat untuk angon sapi berbentuk watu (batu), yang letaknya hanya seratusan meter dari rumahnya di Kelurahan Penggaron Lor, Genuk. Sejak ditemukan tahun 1965, artefak batu berbentuk sapi itu masih aman, dijaga Mat Bakri.
“Dulu ditemukan tahun 1965. Saya sendiri yang menemukan, saat mencangkul di tanah itu,” jelas pria sepuh itu.
Kala itu, Mat Bakri menjabat bayan di Kampung Klithak, yang waktu itu masuk Desa Sembungharjo. Sekarang kawasan tersebut masuk kelurahan Penggaron Lor. Saat mencangkul di tegalan di tanah bengkok itu, dia menemukan benda keras. Setelah digali, isinya berbagai arrtefak kuno. Ada yang berbentuk sapi, masjid, orang bersila, dan benda-benda lain.
“Saat ditemukan, isinya bukan cuma batu. Waktu itu juga ada emasnya. Tapi sudah dibawa petugas untuk diamankan ke museum,” jelasnya, meski dia mengaku tak tahu petugas itu dari museum mana.
Kini artefak di sebelah timur Kali Babon itu masih dia jaga. Angon sapi, begitu dia memberi istilah. Jabatan ‘kuncen’ yang dia sandang itu, merupakan amanah dari seorang tua yang datang melalui mimpinya, saat dia menemukan artefak itu. “Saya dipesan untuk menjaga,” jelasnya.
Menurut ceritanya, pernah ada orang yang mencoba berbuat jahat untuk mencuri. Tapi selalu menuai celaka. Bahkan ada anak kecil yang iseng kencing sembarangan, pulangnya langsung sakit. “Sapi watu ini akan saya jaga, untuk warisan sejarah anak cucu,” pungkasnya.
Itulah senukil teks sederhana yang saya tulis beberapa tahun silam. Menurut informasi, Mat Bakri sudah wafat. Adapun tanah bengkok maksudnya adalah tanah atau lahan yang yang diperuntukkan bagi perangkat desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H