Mohon tunggu...
Panji Joko Satrio
Panji Joko Satrio Mohon Tunggu... Koki - Pekerja swasta, . Lahir di Purbalingga. Tinggal di Kota Lunpia.

Email: kali.dondong@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika 'Kemungkinan' Lenyap dan 'Kepastian' Merayap

1 Maret 2016   06:10 Diperbarui: 1 Maret 2016   07:45 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tampaknya kosakata "mungkin" atau "kemungkinan" makin menghilang. Sudah diganti dengan pasti atau kepastian.

Belasan tahun silam saja, kata "mungkin" sudah mulai menghilang. Itu saat saya masih mahasiswa dan mengikuti jalan sehat berhadiah yang diadakan sebuah lembaga pemerintah. Peserta bejibun karena hadiahnya menggiurkan. Bayangin, cuma beli tiket goban (lima ribu), jika beruntung bisa nyangkut di doorprize utama berupa mobil atau sepeda motor.

Tapi dooprize utama realitanya cuma vote getter. Saya tahu persis hadiah-hadiah yang menerbitkan liur itu cuma tipuan karena yang dapet ya konco-konco si panitia sendiri. Jadi sudah tidak ada yang namanya "peluang" atau "kemungkinan". Karena "rezeki" itu sudah diatur untuk pasti jatuh ke tangan orang-orang tertentu yang dekat dengan penguasa (dalam berbagai konteks).

Menang undian berhadiah di mal? Ah, itu seperti menunggu timbulnya watu item. Menurut pengamatan saya, banyak yang tipa-tipo. Zaman kuliah dulu saya masih suka iseng, sehingga berhasil membuktikan (minimal bukti untuk diri sendiri) bahwa penarikan hadiah di suatu mal di kotaku cuma rekayasa.

Entah di mana aparat yang bertugas untuk mengawasi proses itu. Jangan bicara perihal amanah, tugas, dan tanggug jawab di zaman sekarang. Semua kosakata itu sudah terkubur di gua kahfi selama ribuan tahun.

Saya pernah diejek kawan yang bekerja sebagai penyiar. Gara-garanya, mengikuti kuis berhadiah via telepon di sbeuah radio. Kawan saya ngomong, lha memangnya penyiar radio itu tidak punya keponakan, teman, karib, pacar, atau konco dekat yang perlu dikasih hadiah?

Begitulah, jangankan undian berhadiah yang memang untung-untungan. Hampir semua agenda publik di negeri ini, sudah dirambah virus "kepastian".

Kalau ada lowongan kerja di suatu lembaga atau instansi, maka jauh sebelum lowongan itu dibuka, sudah ada kepastian siapa-siapa yang akan mengisinya. Kadangkala malah lowongan itu diciptakan atau diada-adakan semata untuk menampung orang-orang dekat penguasa itu sendiri. Entah keluarganya, entah tim suksesnya dalam pilkada, dan lain-lain.

Lalu, adakah yang tersisa bagi entitas yang disebut "rakyat" atau "orang biasa" atau (apalagi) orang miskin" dan golongan lemah lain? Sudahlah, kalian menangis saja keras-keras! Salah sendiri kalian tidak mampu membangun posisi tawar!

Di sisi yang berbeda, orang-orang bersiasat untuk memastikan suatu "kepastian" jatuh kepadanya. Sekarang mafia bukan monopoli elit, para makelar kroco bahkan orang kecil saja sudah pintar bermafia. Apa tidak malu kepada Dia yang maha kuasa tetapi tetap welas asih dan menyayangi makhluknya?

Gen Spiderman
Saya tersenyum gembira membaca berita, seorang profesor di luar negeri melakukan penelitian ilmiah dan berhasil membuktikan bahwa tidak mungkin manusia mengalami mutasi gen menjadi "manusia laba-laba" alias spiderman. Si profesor berhasil memastikan bahwa film spiderman itu tetap akan menjadi khayalan semata dan tidak mungkin terjadi.

Ya iyalah, anak kecil saja tahu kalau spiderman itu cuma fiksi. Tetapi si profesor mungkin kadung terobsesi dengan "kepastian" atau "kebenaran" sehingga dia mau repot membuktikan secara ilmiah bahwa peluang manusia untuk menjadi spiderman itu bernilai mustahil.

Dahi saya berkernyit membaca berita, para ahli di luar negeri mulai melakukan penapisan gen manusia. Gen yang baik dipilih, yang jelek disisihkan. Tujuannya adalah kelahiran bayi-bayi yang montok, sehat, dan cerdas dan memiliki keunggulan. Nanti di masa depan, tak ada bayi yang lahir jelek. sakit, apalagi cacat karena gen-gen negatif sudah dilenyapkan. Mirip kisah di planet Kripton pada film Spiderman.

Pada batas tertentu, mungkin itu bagus. Untuk mengurangi risiko nasib buruk pada "bayi" misalnya cacat.

Pada sisi lain, mungkin saja Tuhan memberi kita pengalaman hidup yang penuh warna-warni. Seperti permen nano-nano: manis-asin, asam. Ada pahitnya juga dan karena itulah medium untuk tetap eling bahwa kita ini cuma makhluk nista di hadapan Dia.

Lha kalau semua bayi atau manusia unggul, lalu siapa yang mau jadi jongos? Kan sama-sama memiliki sifat adi. Nanti malah perang terus, kaya AS lawan Rusia karena sama-sama adidaya. Tuh, tempo hari Amerika pamer rudal Minuteman III yang bisa menghancurkan negara musuh cuma dalam hitungan menit!

Justru karena ada manusia "hebat" dan manusia "payah" maka hidup ini menjadi tentram dan damai. Ada yang jadi juragan dan ada yang jadi karyawan. Asal bukan perbudakan atau eksploitasi, bukan?

Baik-buruk dalam hidup berpadu menjadi harmoni dan acapkali sebuah "kemungkinan" menjadi bagian indah dari rencana Tuhan dalam "beternak" manusia. Jadi, orang-orang yang memastikan "kepastian" itu, tidakkah bisa dituduh sebagai melawan kodrat dari pencipta kepastian itu sendiri?

Enstein berkata Tuhan tidak bermain dadu ketika menciptakan alam semesta. Para agamawan berkata, jangan bersedih akan nasib buruk karena itu bagian dari "rencana indah" Tuhan. Suatu ketidakpastian (di mata manusia) sebenarnya merupakan kepastian di mata Tuhan. Dan kita para makhluk sebaiknya tidak turut campur kecuali sebatas yang diizinkan oleh Dia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun