Mohon tunggu...
Panji Joko Satrio
Panji Joko Satrio Mohon Tunggu... Koki - Pekerja swasta, . Lahir di Purbalingga. Tinggal di Kota Lunpia.

Email: kali.dondong@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa MOOC Menjadi Momok?

1 Januari 2016   01:06 Diperbarui: 1 Januari 2016   03:33 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Lucyanna Pandjaitan (kanan) dan Prof Dr Rhenald Kasali menjadi narasumber tentang edukasi online d Net TV dengan host Sarah Sechan (sumber:IndonesiaX)"][/caption]Meroketnya pamor kursus online gratis menggunakan platform massive open online course (MOOC) menjadi momok tersendiri bagi institusi pendidikan tradisional. Mereka kuatir gulung tikar karena kalah bersaing.

Bagaimana tidak, selama ini lembaga pendidikan konvensional cenderung mematok biaya mahal. Tingginya biaya akhirnya menjadi tembok penghalang bagi masyarakat kurang mampu untuk mengakses pendidikan.

Sebaliknya, kursus online gratis bukan hanya murah, bahkan nirbiaya. Semua gratis: dari pendaftaran, proses pembelajaran, sampai evaluasi. Satu-satunya ongkos yang harus dibayar hanyalah akses internet.

Edukasi online dengan MOOC membuka akses bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan. Bahkan masyarakat di pucuk gunung sekalipun, karena internet kini telah merambah ke pelosok desa.

Dengan berbagai keunggulan yang ditawarkan, akankah MOOC menjadi momok bagi pendidikan konvensional?

Jutaan Siswa
Meroketnya pamor kursus online berbasis MOOC bisa terlihat tingginya populasi siswa. Padahal, MOOC baru diaplikasikan sekitar lima tahunan.

Coursera merupakan lembaga dengan jumlah siswa terbesar di dunia, mencapai 10,5 juta. Disusul edX  (3 juta), Udacity (1,5 juta), MiriadaX (1 juta), dan FutureLearn (800 ribu) (sumber: edSurge).

Mengapa lembaga kursus online berbasis MOOC mampu melayani jutaan siswa secara massif? Tak lain karena menggunakan kecanggihan teknologi. Yakni menggunakan platform (semacam perangkat lunak komputer). Dengan perangkat lunak tersebut, pembelajaran bisa dilakukan secara massif tanpa mengurangi kualitas.

Bayangkan jika menggunakan guru berupa manusia. Berapa banyak instruktur yang harus disiapkan Coursera untuk melayani 10,5 juta siswanya? Jika rasio ideal guru:siswa katakanlah dibuat sangat minimalis,  1:500, maka dibutuhkan lebih dari 21 ribu guru. Andai satu instruktur katakanlah digaji Rp 1 juta per bulan, maka Coursera harus mengeluarkan gaji Rp 21 miliar per bulan. Besar sekali bukan?

Menurut Alex Zhu, seorang pakar inovasi teknologi, MOOC memang sempat dikhawatirkan akan menjadi "kuburan" bagi lembaga pendidikan tradisional (Forbes). Menurut dia, edukasi online dengan MOOC bisa mengancam lembaga pendidikan konvensional. Sama halnya ketika teknologi digital menghancurkan industri musik rekaman.

Tetapi, kemudian Zhu berharap relasi antara kursus online dengan pendidikan konvensional tidak saling menegasi. Melainkan sebaliknya, saling mendukung.

Kelahiran MOOC sendiri dibidani oleh Stamford University, sebuah perguruan tinggi "konvensional". Selain itu, materi pembelajaran (kurikulum) MOOC juga disusun oleh dosen atau tenaga pengajar dari perguruan tinggi "konvensional".

Dari sini terlihat, MOOC tidak mengancam pendidikan konvensional. Namun MOOC memperluas akses pendidikan bagi masyarakat. Terutama masyarakat yang masih memiliki hambatan akses terhadap pendidikan. Apalagi kebanyakan kursus online berbasis MOOC bersifat gratis.

Dengan demikian, hubungan antara MOOC dengan institusi pendidikan konvensional bersifat simbiosis mutualisme. MOOC berkembang dengan ditopang pendidikan konvensional, sebaliknya MOOC akan memperluas jangkauan pendidikan konvensional kepada masyarakat. TErutama kepada masyarakat yang memiliki hambatan dalam mengakses pendidikan.

MOOC di Indonesia
Di Indonesia, edukasi online berbasis MOOC dipelopori oleh PT Education Technology Indonesia dengan nama produk IndonesiaX. Dengan menggandeng sejumlah perguruan tinggi kenamaan, IndonesiaX berfokus pada pengembangan edukasi dan pelatihan online berkualitas. Tujuan yang ingin dicapai adalah memperluas akses masyarakat kepada pendidikan dan dan ketrampilan hidup.

Salah satu keunggulan IndonesiaX dibanding penyelenggara MOOC dari luar negeri adalah, platform yang digunakan didesain khusus dan menggunakan bahasa Indonesia.

Dewan Penasehat Indonesia X diketuai Prof Dr Mohammad Nuh (mantan Menteri Pendidikan Nasional dan guru besar ITS). Adapun Dewan Manajemen dipimpin Lucyanna Pandjaitan sebagai Presiden Direktur & CEO.

Tertarik? Anda bisa mendaftar atau mengeksplorasi IndonesiaX di situs resminya. Anda bisa memilih salah satu atau bahkan beberapa materi kursus. Semua gratis. Tunggu apalagi, mari kita jadikan MOOC sebagai momok bagi pendidikan mahal dan diskriminatif!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun