Yang mencandu ternyata bukan hanya ganja, kopi, atau rokok. Tetapi (mungkin) juga teh.
Sebagai lelaki, saya tak gemar menghisap sigaret. Juga jarang menyeruput kopi, serta (syukurlah) tak bersentuhan dengan narkose. Tapi teh bagiku sudah seperti candu.
"Kalau belum minum teh, rasanya seperti belum minum," kilahku kepada anakku, perempuan, kelas 5 SD.
Anak penurut itu kerap aku mintai tolong menjerang teko untuk seduhan teh tawar. Persediaan aku minum dari pagi hingga malam.
Begitulah, seakan air putih tak kuasa memusnahkan dega. Kalau belum mencecap teh tawar, panas maupun dingin, rasanya masih dehaga.
"Air putih itu lebih sehat, lo Yah," saran anakku.
"Delapan gelas per hari," katanya menirukan iklan televisi.
Saya sendiri meyakini, minum air putih lebih menyehatkan. Kadang merasa ngeri melihat kerak kecoklatan di teko bekas teh. Jangan-jangan, dalam organ tubuhku terdapat kerak teh juga?
Default: Teh Tawar
Sejak kecil aku terbiasa minum teh, tepatnya teh tawar. Itu tradisi orang Banyumas.
Dahulu ibu selalu menyeduh teh dalam teko plastik berukuran besar. Air teh itulah yang diminum kami sekeluarga. Jarang sekali minum air putih. Karena air putih itu, dianggap cuma air putih.
Saat aku kecil teh celup belum ada. Adanya teh tubruk atau teh krecek. Yakni daun teh yang dijemur dan dikeringkan secara tradisional (bukan buatan pabrik). Rasanya, sepat bersemu pahit.