Salah satu faktor barangkali, sebagian masyarakat lebih tergiur keuntungan jangka pendek. Pun dalam hal gerakan non-tunai. Sebagian lebih berharap adanya keuntungan yang bersifat jalan pintas.
Pada tahun 2010 misalnya, jumlah orang dewasa di Indonesia yang sudah memiliki rekening bank baru mencapai 19,6 persen. Jumlah yang sama dengan Kenya pada lima tahun sebelumnya! Untuk meningkatkan angka "melek bank", Bank Indonesia meluncurkan program TabunganKu. Pada 2013, program tersebut menambah jumlah rekening hingga 4,7 juta akun. Cukup besar tetapi barangkali belum optimal.
Mayoritas masyarakat enggan ke bank dengan alasan klasik: ribet, jauh, tak sempat, dan alasan lainnya. Bagaimana jika akses ke perbankan dipermudah melalui ponsel? Dalihnya tetap: ribet. Inilah yang membuat pelaksanaan gerakan branchless banking dan non-tunai relatif lebih berat di Indonesia.
Kendala ini juga terjadi pada bidang lain: betapa sulit menjalankan program non-tunai. Misalnya program parkir berlangganan dan lainnya.
Sindrom Pak Ogah
Masyarakat sering lebih ngarep "stimulus tunai" dari program pemerintah. Kalau ada sosialisasi program baru, masyarakat berharap memperoleh yang seketika (langsung). Kalau ikut program ini dapat apa? Kalau mengikuti sosialisasi nanti mendapat apa? Kalau tidak dapat "apa-apa", maka bubar jalan.
Sindrom Pak Ogah dalam sinema boneka Si Unyil, agaknya mewabah di negara kita. Jika diajak maju atau menjalankan program, maka akan bertanya: cepek dulu dong (meminta imbalan).
Perilaku ini agaknya juga menghinggapi birokrasi. Jika diminta melakukan inisiasasi suatu program, tak jarang bertanya: ada anggarannya atau tidak? Kalau tidak ada anggarannya atau dana mirim, mereka cenderung menjalankan program secara asal-asalan. Sehingga hasilnya kurang optimal.
Inilah satu satu tantangan yang menghadang gerakan non-tunai yang digulirkan Bank Indonesia. Meskipun, tantangan tersebut tidak bersifat karasteristik, melainkan merupakan fenomena umum di Indonesia.
Capek Dulu Dong!
Dengan adanya tantangan tersebut, Bank Indonesia harus bekerja lebih keras. Karena mengubah pola pikir itu tidak mudah. Gerakan non-tunai sangat baik dan sangat memudahkan masyarakat.
Para penulis (kontibutor maupun freelancer) sudah sangat merasakan manfaat gerakan non-tunai. Honor tulisan biasanya dikirim secara non-tunai. Jadi tanpa "disuruh" membantu sosialisasi pun, para penulis akan dengan senang hati melakukan.
Masyarakat umum akan sangat terbantu jika gerakan non-tunai sudah menjadi budaya. Transaksi keuangan sehari-hari bisa lebih mudah, aman, lancar, dan praktis. Tetapi sosialisasi harus dilakukan secara gencar untuk menghapus hambatan seperti diurai di atas.