Mohon tunggu...
Panji Joko Satrio
Panji Joko Satrio Mohon Tunggu... Koki - Pekerja swasta, . Lahir di Purbalingga. Tinggal di Kota Lunpia.

Email: kali.dondong@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Nonton Bola Gratis Teh Kotak

22 April 2015   01:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:49 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_361977" align="aligncenter" width="490" caption="Anak-anak main tarkam"][/caption]

Waktu televisi cuma masih TVRI, belum banyak alternatif siaran langsung pertandingan sepakbola. Tahun 1985-an, banyak produk yang bersedia mendanai sepakbola tarkam.

Rokok Djarum Super, Bentoel, dan Teh Kotak kerap menjadi donatur. Karcis bisa ditukar produk. Karena harga karcis setara harga produk, maka serasa beli produk berhadiah nonton.

Hadiah teh kotak, bagi saya, sungguh bikin ngiler. Kala itu, belum banyak minuman kemasan. Maka sekotak teh sunguh sangat membuat hati terpikat. Apalagi melihat teh kotak berkotak-kotak diangkut becak. Heran sekaligus takjub.

Bapak dan kakak saya merupakan pemain tarkam. Kerap berlaga melawan tim dari desa atau kecamatan tetangga. Biasanya nyarter truk atau bak terbuka sebagai sarana transportasi.

Saban berlaga ke luar kota, saya selalu diajak oleh bapak. Disuruh nonton, sekaligus menyemangati kakak agar bermain sportif. Malu, mosok ditonton adiknya kok mainnya curang. Kalau kalah-menang sih tak jadi persoalan.

Dulu juga kerap ada tawuran. Biasanya kalau pertandingan kompetisi.  Yang bikin rusuh dari dua golongan: pendukung fanatik atau pemain-bandar judi.

Setelah teve mulai menyiarkan pertandingan, tarkam otomatis sepi sponsor. Tinimbang beriklan secara ketengan dari tarkam ke tarkam, mending sekalian beriklan di teve. Lebih massif, menjangkau target audiens lebih luas, serta anggaran (mungkin) lebih irit.

Zaman persoalan sekarang sepakbla lebih kompleks. Bukan cuma penonton fanatik dan bandar judi. Politik ikut masuk sehingga intriknya lebih menarik. Pertandingan di luar arena tak kalah menarik di dalam lapangan.

Di dalam lapangan, pelatih harus memutar otak meracik strategi. Sementara di luar lapangan, para bandar putar benak lebih berat untuk menjegal lawan. Pertarungan malah Lebih brutal, karena tanpa wasit, tanpa tendangan bebas, tanpa kartu kuning merah, dan tanpa kartu kuning. Ada juga yang jago diving.

Banyak juga kong-kalingkong di internal klub. Menyuap pelatih agar mendapat lebih banyak kesempatan bermain, marak di SSB. Para ortu yang banyak duit, tak segan memanjakan pelatih. Agar anaknya mendapat "perhatian". Ya begitulah. Kata WR Supratman, "Itulah Indonesia...."

Statuta Sepakbola Indonesia

Sepakbola menjadi panggung tokoh politik. Ditunggangi orang politik yang sedang menumpang tenar, bekal menapak tangga popularitas. Agar nanti terpilih menjadi pejabat publik.

Bagusnya, orang macam ini biasanya rela berkorban duit. Tapi karena ada motif, tetap saja susah membawa sepakbola menjadi lebih maju. Karena ada intrik-intrik juga.

Sebenarnya pemerintah maupun Kemenpora tak perlu pusing. Daripada maju kena mundur salah, ya biarin saja tak perlu ikut campur. Pemerintah cukup bikin Undang-undang Persepakbolaan. Ajak DPR membuat undang-undang sepakbola. Isinya: rule of game yang baik, bagus, dan masuk akal. Lengkap dengan sanksi jika ada pelanggaran. Mirip-mirip statuta FIFA-lah, tapi versi Indonesia. Dengan adanya legitimasi DPR, maka UU Sepakbola bisa lebih "kuat" dibanding statuta FIFA.

Jika rules dibikin bagus dan "sempurna", akan memperkecil peluang orang-orang yang ingin menunggangi sepakbola untuk kepentingan pribadi.  Silakan sajan orang kaya atau orang politik terlibat, tapi di level klub. Silakan saja mereka menggelontorkan duit untuk klub (dan punya motif). Area mereka ada di situ. Tapi jangan sampai mereka terlibat menjadi bagian dari peneyelenggara.

Agar Undang-undang baru itu tak (terkesan) akan menjegal pihak tertentu, bikin aturan peralihan bahwa undang-undang itu berlaku tahun sekian. Jadi ada jeda waktu.

Kalau undang-undang sudah dibikin, tugas kemenpora berikutnya adalah "mendidik" masyarakat. Mencetak karakter revolusi mental sepakbola. Bagaimana caranya agar penonton bisa tertib, akur, santun, sopan, dan mau bayar karcis. Juga revolusi mental penyelenggaranya, tak nilep duit karcis.

Di Indonesia, yang susah itu bikin aturan (undang-undang). Karena, pembuat UU tak hanya harus pinter. Tapi juga berpengalaman. Agar undang-undang itu tidak mengandung kesalahan.

Pemerintah (Menpora) mesti fokus pada tugasnya sebagai regulator, bukan operator. Maka yang utama adalah bikin regulasi sebaik mungkin untuk mengatur operator.  Jangan tergoda masuk ke dalam permainan.

Untuk memenuhi kewajiban sebagai regulator, Menpora mesti segera menyusun rancangan Undang-undang (RUU) Sepakbola. Bikin yang bagus dan ajukan ke DPR. Agar kita punya aturan main yang jelas dalam hal persepakbolaan nasional.

Bola memang bulat, tetapi aturan mainnya harus kotak. Rules of game harus kokoh berdiri, tidak menggelinding ke sana-kemari.

Kalau saat ini, sepakbola kita memprihatinkan, ya biarin aja dulu. Kalau aturannya bagus, nanti ada perbaikan kok. Lagi pula, sudah lama sepakbla kita "masuk kotak".  jangan malah bikin masyarakat menjadi terkotak-kotak.  Intinya: jangan bikin yang sudah ruwet malah jadi tambah ruwet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun