Ketika seorang capres "masuk ke dalam got" misalnya, kemudian dilakukan konstruksi sedemikian rupa bahwa capres tersebut "sederhana" dan prorakyat. Atau sebaliknya, seorang capres dikesankan secara terus menerus sebagai "boneka".
Ketidaknetralan kian nyata terlihat pada framing. Yakni pada kebijakan kuantitas (berita tertentu tayang ulang berkali-kali, berita lain disembunyikan). Kemudian pemilihan angle (sudut pandang), serta pemilihan narasumber (yang itu-itu saja).
Perlu Digandeng?
KPU sebagai penyelenggara pemilu sebaiknya tegas. Media yang tak netral, idealnya jangan dilibatkan dalam tahapan resmi. Di antaranya uji publik dan kampanye. Ini sebagai upaya disinsentif. Diharapkan, langkah ini bisa menghambat kekuatan kapital dan politik yang membajak jurnalisme untuk kepentingan ekonomi-politik.
Jangan justru malah menggunakan media pendukung masing-masing kandidat sebagai partner. Dengan alasan, agar adil dan berimbang, misalnya. Karena secara behavioristik justru akan mendorong pers untuk berpihak. Lantaran berharap adanya “jatah” yang melekat pada masing-masing calon.
Apalagi, demokrasi bukan milik kandidat tetapi tapi milik rakyat. Sehingga pemilihan media harus mengedepankan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan kandidat.
Jika pers netral, kita berharap demokrasi semakin sehat. Jika ada pers tidak netral, ya biarkan saja. Tapi harus ditampik partisipasinya dalam tahapan pilkada.
Kita tunggu, sejauh mana keberanian KPU. Apakah mereka berani menampik pers yang bersipa partisan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H