Demokrasi mati bukan hanya karena kita tak (bisa) nyoblos. Tetapi juga karena rule of game dilanggar di sana-sini. Ketika para pem-buly gentayangan di dunia maya dan para netizen diupah untuk saling menghina satu sama lain.
Penegak hukum hanya membisu melihat serapah merajalela. Kecuali ketika "tukang tusuk sate" ditangkap karena menista. Itupun kemudian dibela politisi dari kubu lawan yang dihina. Padahal itu bukan urusan pihak nomor satu atau dua. Tapi perihal telah dirampasnya hak rakyat untuk mendapatkan internet sehat.
Benar, kembali ke coblosan sistem perwakilan (DPRD) bukan solusi. Tapi, ada juga yang penting untuk dipikirkan. Yakni: minimnya pendidikan politik. Dunia pendidikan, pers, birokrasi, KPU, panwas, pengamat, aktivis punya tanggung jawab memberi pencerahan. Tetapi mayoritas absen.
Saya galau karena Anis Baswedan merapat ke kubu salah satu capres. Dia orang baik dan hebat. Idealnya, beliau menjadi agonis dalam mendarahdagingkan keluhuran nilai (demokrasi) di institusi pendidikan. Tapi dia memilih partisan. Mungkin, beliau merasa politik (praktis) lebih berdaya guna.
Saya juga kecewa (mantan) menteri agama Suryadharma Ali merapat ke kubu satunya. Sebagai menag, dia punya kuasa dan sumber daya untuk membina akhlak (ini bagian demokrasi juga).
Anis dan SDA adalah contoh dua orang pemilik sumberdaya yang memilih meninggalkan gawang. Kemudian keduanya berbeda nasib.
Kita butuh orang yang bersedia mengembangkan demokrasi. Yang mau mengajari masyarakat akan pentingnya menghormati sistem dan aturan main. Bukan justru mengajari caranya curang, arogan, dan sewenang-wenang. Kita butuh tokoh yang bersedia menyadarkan rakyat bahwa semakin banyak kaus partai, makin besar pula korupsi.
Ah, rupanya sudah panjang tulisan ini. Sekadar coretan peneman insomia. Matur nuwun kalau ada yang mau membaca. Mohon maaf atas kenaifan-kenaifan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H