Dita duduk di bangku taman sambil menatap langit senja yang memerah. Hembusan angin lembut menyapa wajahnya, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan. Sejak pagi, pikirannya terus terbayang pada kata-kata terakhir ayahnya sebelum pergi.
"Dita, jangan pernah berhenti berharap. Walaupun dunia ini terasa gelap, selalu ada cahaya di ujung terowongan."
Ayahnya meninggal dunia setahun yang lalu. Setahun yang penuh dengan kehilangan, kesedihan, dan keraguan. Dita merasa seperti terperangkap dalam kegelapan hidup, tak tahu harus kemana.
Namun, hari itu berbeda. Entah mengapa, entah karena langit yang begitu indah atau angin yang begitu menenangkan, ada sebuah rasa ringan yang datang dalam dirinya. Mungkin ini adalah cahaya yang dimaksud ayahnya, pikir Dita.
Dita memutuskan untuk berjalan, mengikuti jejak yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Setiap langkah terasa penuh dengan harapan baru. Mungkin tak semua hal buruk yang terjadi dalam hidupnya adalah akhir. Mungkin saja, setiap perjalanan yang berat, pada akhirnya akan membawanya pada kebahagiaan yang lebih besar.
Langkahnya berhenti di depan sebuah kafe kecil yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Papan kayu yang tertulis "Cahaya" membuatnya tertarik. Tanpa berpikir panjang, Dita membuka pintu dan masuk.
Di dalam, suasana hangat dan nyaman. Seorang perempuan paruh baya dengan senyum ramah menyambutnya.
"Selamat datang, anak muda. Apa yang bisa saya bantu?"
Dita tersenyum malu. "Saya hanya ingin duduk sebentar."
Dia pun duduk di sudut dekat jendela, melihat matahari yang mulai tenggelam. Perempuan itu kemudian datang dengan secangkir teh hangat.
"Kadang, yang kita butuhkan hanya sedikit waktu untuk berhenti dan merenung," kata perempuan itu. "Cahaya itu ada, hanya kita yang kadang tidak melihatnya."