Penghinaan atau menghina orang lain merupakan perilaku yang dianggap sebagai perbuatan yang melanggar kepentingan hukum dan hak asasi manusia yaitu sebagai perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Dalam hukum pidana penghinaan dimasukan sebagai suatu delik setiap pelaku penghinaan akan dikenakan pidana. Perlu di garis bawahi bahwa dalam menentukan seseorang melakukan penghinaan terhadap orang lain secara khusus atau subjek hukum secara umum bukan persoalan yang mudah, perdebatannya dimulai dari aktivisme politik sampai melibatkan proses hukum di pengadilan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung sampai ke hadapan Mahkamah Konstitusi.
Perdebatan tentang kejahatan penghinaan misalnya terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden, menghina pejabat publik dalam menjalankan jabatannya, sekalipun penghinaan terhadap subjek ini meskipun dianggap sebagai pembatasan hak berbicara terutama dalam hal kritik, pada praktiknya seringkali tidak mampu membedakan substansi apakah tindakan baik berupa ucapan, tulisan dan/atau gambar apakah merupakan suatu penghinaan/pencemaran atau kritik sebagai hak publik, terlepas apakah berangkat dari keresahan, ketidaksukaan atau motif lain dari seseorang ditujukan terhadap orang lain atau pejabat publik tidak menutup berakhir di hadapan yang mulia Hakim karena didakwa atas melakukan delik penghinaan/pencemaran nama baik. Kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidianty vs Luhut Binsar Pandjaitan/Pejabat Kementrian Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI menjadi protret nyata atas kontroversial dan tidak jelasnya delik penghinaan terutama berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan penghinaan, pada batas-batas yang mana seorang itu telah menghina.
Perlu dikatakan disini, bahwa dalam literatur hukum pidana penghinaan termasuk kedalam pelanggaran terhadap norma susila dalam pandangan Prof. Purnandi Purbacaraka dan Prof. Soerjono Soekanto "norma susila berkaitan dengan etika atau moral". Dalil moral biasanya dalam bentuk kesadaran seperti "bahwa setiap orang mempunyai hasrat untuk hidup yang pantas, tetapi kepantasan itu berbeda-beda dari orang yang satu dengan yang lainnya, komunitas masyarakat, bangsa atau negara. Kaidah susila bertujuan membentuk keseimbangan hidup orang yang satu dengan yang lainnya.
Pernah dikatakan oleh Prof. Satochid Kertanegara bahwa "sifat umum dari suatu delik adalah pelanggaran terhadap sesuatu norma, yaitu yang merupakan suatu perbuatan yang melanggar atau memperkosa (verkrachting) terhadap kepentingan hukum atau yang bersifat dapat membahayakan kepentingan hukum yang mana kepentingan hukum itu terdiri dari jiwa, badan/tubuh, kebebasan/kemerdekaan, kehormatan, dan harta benda. Selaras dengan itu ratio legis yang dijadikan sebagai dasar memasukan penghinaan sebagai suatu delik perbuatan yang dapat dipidana adalah adanya kepentingan hukum yang dilanggar yaitu keselarasan hidup antar orang/bersama.
Secara bahasa dalam bahasa Indonesia penghinaan diambil dari akar kata: hina yang berarti rendah kedudukannya (pangkatnya, martabatnya), keji tercela, tidak baik (tentang perbuatan, kelakuannya). Dari kata menghina diartikan merendahkan, memanadang rendah, memburukan nama baik orang, menyinggung perasaan orang (seperti memaki-maki, menistakan). Kata penghinaan sendiri diartikan serbagai proses, cara, perbuatan menghina (kan) sementara dalam bahasa Belanda mengenal istilah penghinaan sebagai misdriven tegen de eer, dan dalam KUHP Indonesia menggunakan istilah penghinaan yang berarti kejahatan yang melanggar kehormatan orang lain.
Prof. Satochid Kertanegara pernah merangkum tafsir atas frasa penghinaan itu, antara lain kehormatan adalah sesuatu yang disandarkan atas harga diri atau martabat manusia, yang bersdandarkan pada tata susila, karenannya kehormatan merupakan nilai susila dari manusia. Perasaan setiap mengenai kehormatan, yang berarti kehormatan adalah rasa hormat, setiap manusia mempunyai hak untuk supaya kehormatannya tidak dilanggar (de mens heft recht, dat zijn eer niet zal worden gekrent).
Telah disebutkan diawal bahwa penghinaan ditujukan terhadap kehormatan, dalam interprestasinya kata kehormatan diartikan sebagai nama baik yaitu kehormatan yang diberikan kepada seseorang oleh masyarakat berhubungan dengan kedudukannya didalam masyarakat. Secara alamiah nama baik itu berkaitan dengan status seseorang dalam masyarakat sebagai orang terpandang yang mempunyai kedudukan.
Prof. Satochid Kertanegara dalam Rangkaian Kumpulan Kuliah Hukum Pidana membagi delik penghinaan yang mempunyai bentuk murni kedalam empat jenis diatur dalam Buku II Bab XVI
Pertama, menista secara lisan.
menista dilakukan dengan cara diucapkan secara lisan dengan maksud menyerang kehormatan atau nama baik seseorang atau orang tertentu dengan menuduhkan sesuatu hal dengan maksud nyata tuduhan itu diketahui oleh umum. Prof. Satochid Kertanegara merumuskan unsur-unsur penistaan yang harus dipenuhi dalam hal ini adalah
 1. Dengan sengaja