Kulihat darah merah mengalir
dan kepala buntung terbaring
tangan tak bertuan terlempar
teriakan itu terdengar damai dan nyaring
Â
Betapa damainya hari ini terasa
daging berceceran dengan tulang hancur
bola mata keluar dari sarangnya
tubuh tercincang dan terkumpul membaur
Â
Napas tiada lagi terasakan
Rintih lembut mencerahkan hari
tiada aku merasakan sungkan
tak kurasakan beban mereka yang mati
Â
Oke. Mungkin Kala adalah seorang psikopat dengan melihat puisi yang satu ini. Puisinya agak seram (mungkin sangat seram jika dibayangkan dengan benar-benar), tetapi entah kenapa siapa pun yang berada dalam puisi tersebut berada dalam kedamaian.
Jadi untuk menjelaskan kenapa puisi ini begitu... aneh, mungkin aku harus memulai dari suatu pernyataan: pada saat puisi ini dibuat di Rusia, aku sedang sangat tertarik dengan beberapa cerita mengenai Perang Dunia II. Karena aku juga sedang tertarik dengan keadaan Afghanistan dan Suriah yang begitu kelam, aku pun mulai membayangkan yang tidak-tidak. Kemudian, aku tuangkan dalam sebuah puisi: pemikiran seorang tentara perang yang telah membunuh puluhan orang dalam suatu pertempuran, dan bagaimana ia tidak dapat merasakan kemanusiaan dari para korbannya lagi. Perang membuat kita lupa akan sisi manusia kita, sehingga akhirnya darah mengalir hingga daging berceceran akan terlihat biasa dan tak terasakan kengeriannya.
 Bagaimana dengan strukturnya? Seperti biasa, Kala suka struktur, rima dan pola. Puisi 14. Udara mempunyai rima ABAB, dan kalau diperhatikan baik-baik, ada pola dalam jumlah kata. Polanya adalah 4-4-4-6/5-5-5-5/4-4-4-6. Yap, Kala memang sedetil itu kadang-kadang. Suka merepotkan diri sendiri. Ehe.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI