Mohon tunggu...
kalam jauhari
kalam jauhari Mohon Tunggu... -

pelajar sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuyul dan Makhluk Gaib Lainnya dalam Sejarah Ekonomi Jawa

20 Oktober 2010   11:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:16 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Menurut Boomgaard, popularitas motif cerita-cerita ini merefleksikan suatu realitas ekonomi. Karangan Boomgaard tersebut berusaha mengaitkan perubahan dalam kepercayaan rakyat pada pembangunan ekonomi dalam tiga level abstraksi. Pada level terendah, karangan ini meneliti informasi tentang kepercayaan rakyat dari berbagai sumber. Melacak perkembangan dari sejumlah cerita antara 1850 dan 1990. Pada level menengah, karangan ini mengoreksi asumsi tertentu mengenai struktur dan perkembangan ekonomi orang-orang Jawa, yang tentunya memiliki konsekwensi pada interpretasi-interpretasi cerita rakyat yang ada sebagai refleksi dari ekonomi ini. Pada level tertinggi, tulisan ini mengambil isu dengan metodologi membandingkan cerita-cerita sebagai data statis dengan fenomena yang dinamis, misalnya penetrasi kapitalisme modern. Cerita-cerita itu, pada waktu tertentu, tidak merefleksikan level tahap perkembangan ekonomi sebagaimana dirasa orang-orang. Sebelum sebuah percobaan dibuat untuk menggunakan cerita-cerita tersebut sebagai bukti dari kepercayaan masyarakat, satu tema utama dari cerita itu harus dilepaskan dari variasi lokal dan temporalnya. Hanya dengan membandingakan variasi di dalam cerita rakyat dengan perubahan struktural dan siklis di lingkungan ekonomi, tiba pada suatu kesimpulan yang valid dan bermakna bisa diharapkan.

Motif roh anak-anak, sebagai contoh, bisa ditemukan di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Bagaimanapun, perubahan peran dari menthekdan pergeseran dari gundulke tuyultampaknya merefleksikan perubahan struktural dan siklis ekonomi sebagai pengalaman dan dirasakan orang-orang Jawa selama sekitar dua abad. Pemujaan ular memang merupakan motif yang sangat tua dan luas, tetapi mempelajari pembedaan (transseksual) akan sampai pada kesimpulan mengenai perubahan ekonomi (Boomgaard, Illicit…: 209-210).

***

Demikianlah Boomgaard menunjukkan bahwa cerita-cerita makhluk-makluk halus itu menjadi bagian dari porses sejarah masyarakat Jawa. Dari karangan itu kita bisa mengetahui suatu hal yang penting, bahwa ada paradoks pada sikap pribumi dalam menanggapi masuknya kapitalisme yang bersamaan dengan penjajah; mereka ingin kaya tetapi tidak mau disebut kaya, karena kekayaan itu tidak identik dengan pribumi dan yang dekat dengan kekuasaan. Dengan kata lain, mereka mau kaya tetapi tidak mau dianggap “bukan pribumi” atau Belanda kapitalis. Mereka tidak menyukai kapitalisme karena hadir bersama kolonialisme dan eksploitasi, tetapi merasa rugi kalau menolaknya. Oleh karena itu mereka menerima kapitalisme dengan setengah hati. Sebab itu mereka gemar menimbun dan menyembunyikan kekayaanya dan “menciptakan” tuyul untuk menjelaskan orang-orang yang kaya dengan cepat.

Di samping itu, kita juga bisa mengetahui bahwa cerita-cerita mengenai hantu tertentu atau mengalami perubahan ternyata berkaitan dengan perubahan di lingkungan perekonomian. Misalnya, cerita-cerita mengenai hantu-hantu pesugihan yang “berkelamin” perempuan, atau berganti kelamin menjadi perempuan, muncul ketika masa tanam paksa, ketika perempuan-perempuan keluar dari ranah domestiknya ke wilayah pekerjaan. Ketika masa depresi dan Perang Dunia Kedua, dimana kesempatan untuk menjadi kaya dengan cepat sangat sulit cerita tentang gundul mulai menghilang, dan digantikan oleh tuyul ketika perekonomi mulai tumbuh kembali. Ketika ketika Indonesia mengalami keterpurukan ekonomi pada tahun 1960-an, di mana beras menjadi lebih penting daripada uang, menthek, yang pada cerita-cerita lama perupakan penghancur panen padi, berubah menjadi pencuri padi untuk majikannya.

Akan tetapi, makhluk-makhluk gaib dalam mitos-mitos masyarakat Jawa sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan ekonomi saja, melainkan juga dalam banyak hal lain, misalnya dengan kekuasaan. Yang disebut terakhir telah ditunjukkan dengan baik oleh Kuntowijoyo dalam karangannya Sumur Ajaib: Dominasi dan Budaya Tandingan di Surakarta Awal Abad XX dan—meskipun makhluk gaib bukan menjadi bahasan utama—John Pemberton dalam On the Subject of “Java”.

Sejarawan seharusnya tidak menilai makhluk gaib dan hal-hal gaib lainnya, seperti pulung, dari masuk akal atau tidaknya hal-hal itu, atau dari ada atau tidaknya dalam kenyataan empiris. Melainkan, hadir atau tidaknya hal-hal tersebut dalam mentalitas suatu masyarakat pada suatu waktu. Sejarah bukan soal masuk akal atau tidaknya sesuatu, tetapi menjadi bagian atau tidaknya sesuatu dalam masyarakat atau bagi masyarakat yang bersangkutan. Segaib apapun hal-hal tersebut, bisa ditulis sejarawan dengan meletakkannya pada suatu tempat dan waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun