Mohon tunggu...
Abu Faqih
Abu Faqih Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mencari Cinta Sejati (Kisah Nyata)#4

30 Mei 2015   22:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:26 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14330013881172356512

Welcome To Jakarta

Sabtu, 30 Agustus, 2008 pukul 02.00 WIB. dini hari

Kapal ciremai pun akhirnya bersandar di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Para penumpang bergegas menuruni anak tangga, anak buah kapal sudah mulai membersihkan sampah dan bekas-bekas kotoran yang masih melekat di lantai. Pemandangan di bawah sana tidak jauh beda dengan pemandangan yang kusaksikan di pelabuhan Surabaya. Yang aku tidak habis pikir, jam segini masih ramai? Tapi aku kembali tersadar setelah mengetahui dimana diriku sekarang sedang berada. Aku juga teringat dengan istilah yang dulu sering ku dengar, ‘jakarta adalah kota yang tidak pernah mati’. Ratusan manusia dan penjemput di bawah sana, seakan mengucapkan selamat datang padaku.

“selamat datang di Jakarta, selamat datang di ibu kota negeri ini, selamat datang di kota metropolitan, selamat berjuang di kota yang kejam ini, selamat mengadu nasib di kota yang tidak mengenal belas kasihan ini” kata-kata itu seperti terngiang-ngiang terus  di telingaku. Tapi walau demikian, aku tetap merasa bangga, kepalaku seperti melayang-layang di udara karena senangnya. Kutatap di kejauhan sana, jutaan cahaya lampu berkerlap-kerlip tiada henti, deru kendaraan masih terdengar ramai. Aku masih tertegun di teras kapal, tak henti-hentinya berdecak kagum. Kembali kucubit lenganku. Sakiit. itu artinya aku tidak sedang  mimpi. Aku betul-betul sudah sampai di Jakarta, kota metropolitan, kota yang selama ini hanya kulihat di Koran, di majalah dan kusaksikan di layar kaca. Ingin rasanya aku berteriaak sekencang-kencangnya, biar rasa senang ini semakin sempurna. Tapi aku urung melakukan itu, khawatir malah di kirain orang gila.

“mas mau turun nggak, itu sudah sepi tangganya” suara awak kapal itu membuyarkan lamunanku, aku jadi bingung sendiri. Inilah yang kedua kalinya aku di panggil mas, aku semakin Ge-Er di buatnya.

“o…o..h iya mas terima kasih” jawabku malu-malu sambil mengangkat barang bawaanku. Sambil berjalan, Aku tersenyum-senyum sendiri membayangkan diriku di panggil mas, ‘mas Mujahid’ cocok nggak ya? Bisikku pelan.

“eh kamu kemana aja toh? Orang-orang sudah pada turun dari tadi?” Tanya Tantowi saat aku sudah sampai di bawah.

Afwan akhi, tadi ana lagi menikmati indahnya kota Jakarta di malam hari” jawabku polos.

“ah… dasar qarawwiy. Dasar kampunganujar Tantowi mengejek. Aku tidak memperdulikan omongannya. Memang aku orang kampung, tapi orang kampung tidak mesti lebih hina dan lebih rendah di banding orang kota kan? Boleh jadi orang kampung malah lebih mulia dibanding orang kota. Coba saja lihat dan perhatikan orang-orang itu, yang bertebaran di sekeliling kita, tidak ada satu orang pun yang menyapa dan memperhatikan apalagi membantu. Semua cuek dan memikirkan diri sendiri, bahkan mungkin sebagian dari mereka adalah penjahat, pencopet yang senantiasa mengincar dan mencari mangsa. Kalau ini di kampung,pasti orang-orang sudah saling menyapa, menghibur dan mengajaknya mampir kerumah, membantu mengangkat barang-barang, dan lain-lain. Menurutku, hubungan silaturrahim dan kekeluargaan serta gotong royong di kampug jauh lebih baik, lebih indah, lebih ramah, lebih peka, lebih berperasaan di banding di kota. Ya inilah ibu kota yang sering kali di sebut oleh orang-orang dengan istilah “ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Loe, loe, gue-gue, urusan loe gue nggak mau tau”. “Inilah tantangan berat buatku”. Batinku.

Saat itu juga aku membuat ikrar lagi, aku boleh tinggal di kampung, berasal dari kampung tapi tidak boleh kampungan namun tetap menjaga serta mempertahankan nilai-nilai baik yang kubawa dari kampung, berakhlak mulia, berbudi luhur, sopan, santun, ramah, saling membantu, menyapa, peduli dan gotong royong aku rasa bukanlah budaya kampungan melainkan ajaran islam yang sarat nilai-nilai positif dan harus di terapakan di ibu kota yang sudah carut marut dan kurang bermoral ini. Untuk menjadi orang professional dan berperadaban, tidak kampungan, berarti aku harus berusaha dan kerja keras untuk mewujudkan itu. Di Jakarta inilah moment dan tempat yang tepat , pikirku. Cukup sekali ini aku di bilang kampungan.

“eh…. Kita mau kemana nih?” Tanya Shaleh, setelah beberapa menit kami berdiam di pinggir jalan.

“angkutan juga tentu belum ada yang beroperasi pada jam segini” lanjut Tantowi. Beberapa sopir taksi dan sopir illegal mendekat ke arah kami, kami segera menghindar, mobil-mobil elite itu bukan tujuan kami, bukan sekelas kami, kami lebih memilih menunggu sampai pagi saja, untuk mencari angkutan yang lebih murah dan ekonomis.

“ya kalau begitu kita cari masjid saja dulu, usai shalat shubuh baru kita melanjutkan perjalanan, tinggal dua jam kok” tawarku kepada mereka berdua. Aku teringat dengan sebuah buku novel yang pernah kubaca saat masih di pesantren. sekumpulan orang kampung sepertiku yang ke Jakarta mengalami seperti yang aku alami saat ini, akhirnya dia mencari masjid untuk tempat istirahat dan mengatur strategi, masjid memang jauh lebih aman di banding tempat-tempat lain, seperti di terminal, pasar, trotoar, dan tempat keramaian lainnya. Kami bertiga pun bergegas mencari masjid, setelah berputar-putar, akhirnya dapat juga. Alhamdulillah masjidnya tidak terkunci. Kami manfaatkan sepertiga malam itu untuk bermunajat kepada Sang Penguasa Alam jagad raya ini. setelah itu aku dirikan shalat hajat dua rakaat, memohon petunjuk dan kemudahan dari Allah, ini awal aku berjuang di daerah yang cukup asing bagiku, ini perjuangan yang tidak mudah, berbagai tantangan dan cobaan pasti terus mengintai. Hanya kasih sayang dan petunjuk Allahlah yang akan menjadi harapanku. Tempatku mengadu dan bertawakkal. Ku baca do’a yang pernah di ajarkan Kyaiku di pesantren,

“assalamu ‘alaikum yaa ahla hazal balad, assalamu ‘alaikum ya mala’ikata hazal balad, assalamu ‘alaikum ya insakum wa jinnakum ya ahla hazal balad”

Usai shalat shubuh, kami bersiap-siap. Sebelum meninggalkan masjid itu, aku mencoba menghubungi nomor yang pernah aku dapat dari ustadz Khairuddin saat berjumpa dengannya di masjid menjelang keberangkatanku ke Makassar.

“Halo Assalamu ‘alaikum Wr.Wb” suara di seberang sana

“wa’alakum salam Wr.Wb. dengan bapak Zaky ya?” tanyaku

“iya, ada apa?”

“ini aku Mujahid dari Sulawesi yang mau belajar di lembaga yang di pimpin ustadz Abdurrahman. Bisa di kirimin alamatnya pak?”

“okey. Ntar aku smskan ya”

jazakallah pak”

Beberapa menit kemudian, pesan singkat dari bapak Zaky masuk.

“ini alamatnya: Jl. Matahari Raya, Blok 1 No 2 Bumi Malaka Asri III, Malaka Sari, Duren Sawit Jakarta Timur.”

Waduh. Ini  alamatnya di Jakarta timur sementara saat ini aku masih di kawasan Jakarta Utara. Aku telfon kembali dan minta rutenya. Aku simak baik-baik penjelasan beliau sambil menuliskan di kertas apa yang di sampaikannya.

antum dari Tanjung Priok naik kopaja atau metro mini ke arah Kampung Rambutan” aku tambah bingung. Istilah-istilah itu semuanya masih asing di telingaku. Apa itu metro mini, kopaja, Kampung Rambutan. Entah bagaimana bentuknya dan di mana letaknya. Tapi aku tulis saja dulu, urusan istilah ini nanti aku bisa tanya di terminal.

“terus dari Kampung Rambutan kemana lagi pak?” tanyaku minta penjelasan lebih lanjut.

“dari Rambutan antum cari angkutan yang ke arah Klender, tapi kalau tidak ada, antum ke Kampung Melayu, dari Melayu baru ke Klender, turun di Malaka III”

“terima kasih pak, mohon do’anya”

“iya, hati-hati di jalan. Nanti kalau ada apa-apa telfon saja lagi. Assalamu ‘alaikum”

“wa ‘alaikum salam”

Aku, Tantowi, dan Shaleh segera beranjak menuju jalan mencari angkutan. Berhubung karena kami berbeda jurusan, maka kami harus berpisah. Tantowi dan Shaleh mau ke Tanah Abang, di sana sudah ada pamannya yang menunggu. Sebelum berpisah kami berpelukan. Saling mendo’akan.

“ma’annajah wa ma’assalamah akhy. Ilalliqo. Jangan lupa kasi kabar” ucapku. Mereka berdua mengambil jalur keselatan dan aku sendiri mengambil jalur ke utara, kami saling melambaikan tangan.

Di pagi buta, ternyata Jakarta sudah sangat ramai, hampir semua kendaraan dari  berbagai merek sudah ada di sini. Mulai dari angkutan biasa, bis antar kota, tronton, truk, pariwisata, ojek, bajaj. Mobil pribadi lebih banyak lagi, mulai dari kijang, panther, avanza, xenia, innova, Honda CR-v, portuner. Dan lain-lain. Dari bus-bus yang panjang itu aku membaca tulisan-tulisan yang tertempel di depannya, Jakarta-Wonosobo, Jakarta-Purwokerto, Jakarta-Bandung via tol Cipularang, Jakarta-Magelang-Jogjakrta. Bus-bus ini juga sering aku lihat di televisi khususnya waktu mudik dan di siarkan oleh pembawa berita, nama-nama daerah yang tertulis di bus itu juga sering aku baca dalam kisah-kisah dan cerita di buku-buku novel.  Saat masih berdiri mematung di pinggir jalan, tiba-tiba sebuah mobil melintas di hadapanku. Di sampingnya tertulis metro mini, beberapa menit kemudian melintas lagi mobil yang sama cuma beda warna kalau yang pertama tadi warnanya merah sementara yang ini berwarna kehijauan dan tertulis di sampingnya kopaja. Ternyata ini yang di maksud pak Zaky tadi. Kirain metro mini dan kopaja itu kayak apa. Kendaraan seperti ini di sebut mini bus kalau di kampungku.

Beberapa kondektur memanggilku dan mengajakku naik ke salah satu mobil yang berjejer itu. Kudekati salah satu kondektur yang tidak jauh dari tempatku berdiri dengan menyeret koperku yang pakai roda.

“permisi pak, mau nanya. Kalau metro mini yang ke Kampung Rambutan yang mana ya?” tanyaku pada kondektur yang berkumis lebat dan berbadan kekar itu. Sekaligus ku perlihatkan alamat yang tadi di kirim pak Zaky.

“oohh…. mau ke Duren Sawit?” Tanya  bapak kondektur tadi, setelah membaca alamat yang kuperlihatkan padanya.

“Dari sini sudah tidak ada yang langsung ke Rambutan mas, ke UKI dulu dari UKI bisa langsung ke Klender. Bagaimana?” aku jadi tambah bingung, Kampung Rambutan dan Kampung Melayu saja belum kumengerti malah di suruh ke UKI lagi. Lagi-lagi nama baru. Dengar di televisi saja belum pernah. Kalau seperti Tanah Abang, Tanjung Priok, Duren Sawit, Manggarai, Cikampek, Pantura, itu sudah sering kudengar dan sudah akrab di telinga, walau entah dimana letaknya. Tapi ini UKI. belum selesai aku sibuk dengan kebingunganku, merapat lagi kepadaku seorang bapak dengan menggunakan helm. Bapak ini menawariku untuk naik ojek saja. Dia minta kepadaku untuk di perlihatkan alamatnya, setelah membaca dengan seksama, dia mengaku sudah pernah kesana beberapa minggu yang lalu mengantar seseorang.

“aku tau ini alamatnya dek, aku hafal jalannya kok. Dari pada kamu naik angkot, sementara belum hafal jalan, bisa nyasar nanti. Ini Jakarta dek” bapak itu terus membujuk dan menawariku untuk naik ojek saja. Aku berpikir sejenak, betul juga apa yang di katakan bapak tadi. Jakarta tidak seperti Makassar, apalagi Sinjai yang kotanya cuma beberapa hektar. Kalau di Sinjai nyasar mungkin masih banyak orang yang berempati dan mau menolong, itu pun tidak sulit untuk menemukan alamat. Tapi Jakarta? Nanti kalau sudah nyasar, di tipu orang, kecopean, aku juga bisa di manfaatkan dan di bodoh-bodohi. Setelah berpikir panjang, aku balik bertanya ke bapak tukang ojek tadi, “ongkosnya berapa pak sampai Malaka?”

“sekitar tiga puluhan dek, bagaimana? kalau mau ayo kita jalan” ujar bapak tadi sembari menyodorkan helm kepadaku. Tapi aku masih terdiam, belum menjawab. Ia mungkin menangkap ekspresi curiga di wajahku. Mungkin dia khawatir aku mencurigainya akan menipuku. Bapak itu kembali bertanya,

“ade dari mana?”

“Makassar Sulawesi selatan pak” jawabku tegas, aku tidak mau kelihatan takut-takut dan ragu, nanti bisa menjadi kesempatan baginya untuk menjatuhkan mentalku.

“aku juga orang Sulawesi de, aku tinggal di Manado” bapak tadi berusaha untuk bertahan. Untuk memastikan dia benar orang Sulawesi atau bukan, kulontarkan beberapa pertanyaan dalam bahasa Sulawesi, dia menjawabnya, Berarti benar. Kondektur yang sejak dari tadi melihat kami seperti berdebat, mendekati kami berdua dan langsung angkat bicara,

“udah dek, naik ojek aja, lebih aman”. akhirnya aku mengalah. Kuambil helm dari tangan tukang ojek tadi. Tapi kalau nanti di tengah jalan dia berani macam-macam, aku tidak segan-segan untuk menghajarnya.  Ujarku dalam hati. “Mujahid Al-Fatih” kusebut kembali nama itu, energi baru seperti memenuhi rongga dadaku, jiwa pejuang dan jiwa mudaku kembali bergemuruh. Kulantungkan do’a sebelum motor mulai melaju “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar…, subhanallazy sakhkhara lana haza wama kunna lahu muqrinin wa inna ila rabbina lamunqalibun”.

Dalam perjalanan di atas motor, mataku mengerling kemana-mana, terkadang mendongak keatas melihat gedung-gedung tinggi yang mencakar langit, atau melihat fly over yang saling menyilang berlapis-lapis, ada juga jembatan tiga yang saling berdekatan, terkadang juga aku menengok kebawah, ternyata di bawah sana masih ada jalan, dan kendaraan tidak pernah putus berkejar-kejaran menyesaki jalan itu. “Jakarta yang indah” gumamku, aku tidak henti-hentinya berdecak kagum melihat keajaiban-keajaiban di depan mataku. Kusebut ini keajaiban karena ini hal yang aneh bagiku, seumur hidup ini baru pertama kali aku melihatnya secara langsung di depan mata kepala.  Setelah beberapa kilo meter kami berjalan, motor tiba-tiba berhenti, aku heran sementara di depan sana tidak ada lampu merah, tapi dari kejauhan terdengar suara yang aneh. Beberapa menit kemudian rasa penasaranku terjawab, ternyata ada kererta api yang mau melintas, jadi semua kendaraan mobil dan motor harus berhenti. Saat kereta itu melintas di depan mataku, tanpa sengaja aku berteriak girang. reflek. Untung saja suara kereta itu lebih keras dari suaraku sehingga orang-orang sekitarku tidak memperhatikan ulahku yang mungkin sangat aneh di mata mereka. Aku senang sekali bisa melihat kereta yang sangat panjang itu, ingin rasanya aku meloncat-loncat mengekspresikan rasa senangku. Akhirnya apa yang selama ini aku lihat hanya di layar kaca, kini semua tampak jelas di depan mata “alhmdulillah”ucapku berkali-kali. Setelah kereta itu berlalu, motor dan kendaraan di sampingku, di belakangku kembali melaju. HP merk vito di saku jaket yang ku kenakan tiba-tiba berdering melengking-lengking. Tante Fatimah memanggil…, begitu terpampang di layar HP. Ku angkat.

“hallo assalamu ‘alaikum tante”

“wa alaikum salam, kamu dimana Mujahid?”

“Alhamdulillah sudah tiba di Jakarta tante. Ini lagi di motor  menuju Duren Sawit”

“Alhamdulillah kamu selamat nak, sebab satu malam setelah keberangkatanmu, tante dengar di televisi ada kapal yang terbakar di tengah laut, sejak hari itu tante tidak bisa tidur, dan terus memikirkan nasibmu, tante hubungi nomormu berkali-kali, tapi tidak aktif, tante semakin cemas. Alhamdulillah selamat ya nak, tante sudah merasa lega setelah mengetahui kabarmu selamat sampai tujuan” tante Fatimah menjelaskan dengan nafas tersengal-sengal, sepertinya beliau masih membayangkan kapal yang di lihatnya terbakar di layar kaca.

Tak terasa kami sudah berada di kawasan Duren Sawit, hal ini aku ketahui dengan melihat papan-papan yang terpampang di pinggir jalan. Beberapa menit kemudian sudah melintasi perumahan Malaka Sari. Aku meminta bapak tukang ojek itu untuk pelan-pelan. Bapak itu pun memintaku untuk bertanya ke salah satu satpam, di mana letak Malaka Asri III. Satpam itu menunjukkan tangannya kearah kiri

“nanti dari situ lurus saja sampai ada tulisan Malaka Asri” ku ucapkan terima kasih. Kami melanjutkan perjalanan, setelah sampai Malaka Asri III, kami masih bingung mencari jalan Matahari Raya, karena ternyata banyak sekali lorong yang bentuknya hampir semua mirip-mirip. Di situ ada bapak yang sedang jalan-jalan pagi bersama anaknya, aku turun lagi dan bertanya.

“permisi pak, Jalan Matahari Raya dimana ya?”  bapak itu menunjuk ke arah kanan,

“itu sudah jalan Matahari Raya” ucapnya. Setelah berputar-putar dalam perumahan dan bertanya berkali-kali akhirnya mataku menangkap sebuah pamflet yang bertuliskan lembaga Hamalatul Qur’an. Segera kutepuk pundak bapak di depanku dan menyuruhnya untuk berhenti.

“Sudah sampai pak, itu dia kantornya” ujarku senang. Setelah menurunkan semua barang, ku sodorkan uang tiga puluh ribu ke bapak itu. Ia minta tambah lima ribu, jangankan lima ribu limabelas ribu saja aku kasih. Yang penting nyawaku sudah selamat, apalah arti selembaran uang di banding keselamatan. Ku ucapkan terima kasih banyak berkali-kali kepada bapak tukang ojek tadi.

Aku melangkah menuju pintu dengan perasaan was-was, entah kenapa? Ku ketuk pintunya tiga kali, kemudian mengucap salam.

“Assalamu ‘alaikum Wr. Wb”

“wa ‘alaikum salam wr. Wb” langsung ada jawaban, tapi suara perempuan, beberapa saat kemudian perempuan tadi keluar. Setelah melihat diriku di depan pintu, mungkin dia agak kaget karena yang di lihatnya itu wajah baru. Aku langsung angkat suara dan bertanya basa-basi.

“ustadz Abdurrahman ada bu?”

“beliau lagi di rumahnya, maaf dengan mas siapa ya?” Tanya ibu itu

“aku Mujahid bu yang dari Sulawesi”.

Mendengar namaku beliau langsung mempersilahkan masuk, sepertinya berita akan kedatanganku sudah di ketahui sebelumnya. Ibu itu sangat baik, aku langsung di suruh sarapan.

“setelah sarapan langsung saja mandi ya mas, hari ini kita ada acara dan mas Mujahid di suruh ikut serta. barang-barangnya masukin saja ke kamar sini” pinta ibu itu ramah.

“iya bu terima kasih banyak” jawabku singkat.

Saat masih di kamar mandi, suara laki-laki yang sudah tidak asing lagi di telingaku  memanggil-manggil namaku.

“Mujahid” dia ulangi berkali-kali, sepertinya dia sangat senang mendengar kedatanganku. Usai mandi aku langsung menemuinya.

“ustadz  Kamal” teriakku pelan, mendengar namanya aku panggil, beliau langsung berjalan ke arahku dan memelukku erat-erat.

“masya Allah, kamu sudah besar Mujahid. Bagaimana kabarmu” Tanya beliau sambil menepuk-nepuk pundakku.

“Alhamdulillah baik ustadz” jawabku sambil tersenyum-senyum. Tidak menyangka akan ketemu disini. Ustadz kamal adalah guruku sejak kelas tiga Tsanawiyah sampai kelas dua Aliyah di pesantren Darul Ulum. Beliau lalu mengenalkan diriku pada istrinya, ternyata ibu yang sangat ramah dan baik itu adalah istrinya. bersambung...



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun