Habib Rizieq Shihab (HRS) bukanlah seorang ulama. Apalagi seorang Imam Besar umat Islam. Tingkah laku dan perkataannya jauh dari predikat santun. Bahkan, dia kerap memprovokasi umat untuk menyebarkan kebencian dan melakukan kekerasan.
Tak bisa dipungkiri, bila HRS kerap menjadi alat politik sejumlah pihak untuk menghajar lawan-lawan politiknya. 'Jasa tukang pukul' itu begitu terasa saat Pilkada DKI Jakarta kemarin.
Namun anehnya, meski sebagian masyarakat telah membenci dan menyebutnya sebagai musuh publik Indonesia, namun masih ada saja sejumlah pihak yang mau membelanya. Salah satunya adalah Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra.
Tak hanya membela, Yusril bahkan mengelu-elukan HRS sebagai ulama dan habib yang harusnya dihormati. Padahal bagi kita yang waras, tentu sadar dan paham bagaimana perilaku HRS seperti preman.
Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, Yusril Ihza Mahendra terlihat sedang mengarang cerita seolah HRS sedang mengalami kedzaliman dengan kriminalisasi yang dihadapinya.
Dengan pernyataannya itu, Yusril tak lain sedang memprovokasi dan memfitnah pemerintah. Ia menuduh pemerintah telah melakukan penganiayaan dan kriminalisasi kepada sejumlah Ustadz, Kiai, Ulama dan tokoh Islam di Indonesia.
Tentu saja, ocehan Yusril itu tidak sesuai faktanya. Itu sama sekali tidak benar. Sebagai akademisi harusnya Yusril mampu berbicara jujur dan obyektif.
Adapun kasus hukum yang dihadapi HRS karena yang bersangkutan memang terbukti telah melakukan sejumlah pelanggaran. Bukti atas kasus tersebut sudah banyak, bahkan masyarakat juga bisa menilainya sendiri.
Di samping itu, HRS juga merupakan ancama terhadap keutuhan masyarakat, karena dirinya kerap menyebarkan provokasi penuh kebencian yang berpotensi memecah belah umat. Dia juga telah bersikap intoleran dan menghina meremehkan sistem hukum di Indonesia.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya bila HRS diproses secara hukum. Itu pun juga atas laporan dari masyarakat yang merasa terganggu dengan 'mulut dan tangannya'.
Sejauh ini, proses hukum telah belaku obyektif terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan HRS. Tak ada kriminalisasi apalagi kedzaliman terhadap petinggi FPI itu.
Kita sebaiknya mulai mawas diri atas perang informasi selama ini. Kita sebaiknya juga tidak mudah terprovokasi atas informasi yang banyak dipelintir di media sosial.
Kita juga harusnya mulai waspada agar tidak terlibat dalam kegiatan yang berpotensi menimbulkan perpecahan, maupun aktivitas yang bisa ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H