Beberapa hari kemudian setelah listrik kembali beroprasi di kampung itu, tidak terdengar berita apapun lagi mengenai si Kakek Legend hingga tibalah saat yang paling berbahagia di tahun tersebut. Saat dimana para petani di Kampung Kertas tersebut berhasil panen padi dengan hasil yang amat melimpah.
Maka layaknya kampung-kampung manapun di dunia ini. Digelarlah sebuah pesta besar-besaran untuk menyambut sukacita keberhasilan panen yang melimpah di alun-alun Kampung Kertas. Seluruh warga Kampung Kertas gotong royong saling membantu untuk menyelenggarakan pesta rakyat terbesar itu dengan berbagai macam cara. Ada yang membuat prasmanan berupa makanan-makanan, ada yang urunan menyewa organ untuk mengadakan dangdutan, ada juga yang menjadi panitia dan mengatur segala persiapan pesta megah tersebut.
Malam pun menjelang sementara pesta rakyat mulai datang. Dengan puluhan kembang api yang bertaburan mengisi langit Kampung Kertas, setumpuk makanan yang disediakan untuk seluruh warganya hingga acara dangdutan yang berlangsung meriah dengan penyanyi yang sangat semlohai sekali. Kampung itu berpesta pora seakan-akan tidak akan ada hari esok untuk dijalankan lagi.
Di tengah pesta tersebut, dua hansip juga ikut bergoyang ketika para biduan dangdut menyanyikan lagu dengan cengkok-cengkok aduhainya. Salah satu hansip Kampung Kertas tersebut menoleh kepada seorang lelaki, “Pak Marko!!”
“Apa, Emon?”
“Euleuh,Itu… Kakek Legend undangan pesta rakyatnya belum dianterin sama Mas Makmur, lho!” Tegas Emon kepada sang ketua RT.
“Yaudah, kamu aja yang anterin sana. Makmur lagi jadi seksi konsumsi, tuh!”
Emon yang berjoget menggendikkan bahunya, “Nggak ah, pak.. Saya teh takut..”
"Kalau gitu... Ipan!"
Apalagi Ipan yang langsung menatap horor, "Jangan aye bang... jangan.."
“Yaudah! Jangan dipikirin kalau gitu.. Goyang lagi ajeeee…” Ajak Marko kepada Ipan sambil asik menggoyang-goyangkan pantat dan pinggul berlemaknya di pesta rakyat tersebut.