Mohon tunggu...
Analisis Pilihan

Badut dalam Pentas Politik

29 September 2018   09:25 Diperbarui: 29 September 2018   10:01 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ancient-origins.net

Nampaknya beberapa hari kebelakang aku akan cuti bermedia sosial. Seminggu terakhir ini dunia mayaku dirusak dengan munculnya begitu banyak "badut" dari aktivitas politik yang menjengkelkan dengan jumlah luar biasa, masyarakat biasa menyebutnya dengan istilah kampret dan cebong. 

Begitulah memang, aku harus paham karena dalam golongan manapun entah suku, supporter, organisasi bahkan identitas agama memiliki seorang dengan semangat militansi tinggi lagi fanatik yang mengklaim bahwa pemahaman dalam dirinya-lah yang paling benar. 

Aku mengetahui kalau hal ini juga terjadi di kalangan terpelajar yang dibutakan oleh kursi jabatan, kedudukan telah melunturkan ke-objektif-an mereka dalam menilai mana posisi yang tepat untuk menempatkan diri sebagai pihak oposisi pemerintah. Lebih dari itu, merekalah sebenarnya pawang dari badut-badut ini.

Aku tekankan dengan simpulan jelas, mereka kusebut badut karena sikap fanatik yang menjunjung idolanya mati-matian demi keyakinan buram ---sebab telah tercampurnya emosi dan keinginan--- mereka akibat counter attack dari pihak yang tak sepaham. Sudah jelas, tujuannya demi pemenangan pentas pemilu calon presiden dan wakil presiden 2019. 

Kalau sudah begitu, pantaskah mereka menyanding julukan "badut"? Yang melakukan kelucuan demi tontonan segelintir oknum hipokrit elite parpol dimana mereka merasa tugasnya lebih ringan karena keberhasilan memprovokasi. Mereka tak perlu lebih menguras energi dan kantong demi melakukan kampanye sehat yang jauh dari provokatif. Ya, karena telah di bantu "badut-badut" tadi.

Tak luput dari pengamatanku terhadap salah seorang berkedudukan di parlemen yang rajin mencuitkan pendapatnya di media sosial, wakil ketua DPR. Ia sebagai dewan yang terhormat juga seorang yang aku nilai hilang objektifitas-nya ketika jumpa dengan berita yang mem-blow up kubu koalisinya dengan mengkaitkan momentum untuk mengganti Presiden. 

Baiklah, tidak ada salahnya dalam hal demikian sebagai sikap yang demokratis, dan aku mengerti DPR memang bukanlah lembaga yang wajib netral dalam agenda perpolitikan namun, sebagai intelektual dengan kursi jabatan yang berasal dari amanat rakyat, wajiblah untuk memperhatikan chaos yang bermunculan karena layangan sikap yang hanya mementingkan kepentingan pihaknya semata. Keinginan untuk mengganti presiden.

Ke-objektif-an sebagai legislator jarang aku lihat tampil daripada dirinya di tahun politik ini. Dan semoga dugaanku ini meleset, apakah mereka sebagai elite-oposisi masih dengan prinsipnya untuk mengkoreksi pihak eksekutif demi kepentingan rakyat? 

Atau berbalik arah akan substansi yang harus diemban dengan membuat koreksi dan kritik terhadap pemerintah hanya untuk memuluskan jalan capres & cawapres dari partai koalisinya? Aku yakin, dalam tekanan skala besar semua memang dapat berubah. Bahkan dalam amatan yang subjektif ini aku menduga pihak tertentu dalam parlemen mengkritik pemerintah ---dan memanfaatkan hastag gantipresiden--- hanya untuk mempertahankan namanya di tahun mendatang dengan diplomasi dan lobby kanan-kiri dengan harapan sebuah "kursi" baru. Semoga dugaanku memang meleset.

Pernah suatu ketika dalam akun pribadi Prof. Jimmly Asshiddiqie, ia menyampaikan bahwa untuk mendorong keadaan bangsa yang lebih baik bisa di wujudkan dengan "promosi hal-hal positif dari calon yang rakyat dukung", tak perlu menghujani cerca pihak lawan yang malah akan melahirkan "cidera" baru. Tak sangka, sang legislator tadi mematahkannya dengan ucapan seolah Prof. Jimmly baru belajar tentang demokrasi. 

Rasanya tak ketolongan aku melihat liarnya moral intelektual dengan kecerobohan atas nama dalih ini. Lalu siapa badut dan siapa pawangnya? Cermati, masing-masing kubu sudah memiliknya!

Kawan yang budiman, ada waktunya kita kembali membuka lembaran tentang landasan etika berbangsa. Mempelajari nilai-nilai fundamental Indonesia dengan budaya elok ketimuran-nya, bahwa Indonesia adalah negara demokrasi pancasila, bukan demokrasi terpimpin atau bahkan jauh dari kebiasaan bertindak dewasa ini yang berbau liberal. 

Dan tentang aku, aku butuh rehat barang satu-dua minggu dari kacaunya aktivitas politik dalam media sosial. Berbijaklah dalam menyampaikan argumen agar mendekati kebenaran, karena kita ini bukanlah sesosok daging tanpa otak di batok kepala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun