Kasus keracunan makanan yang melibatkan produk seperti latiao, chiki ngebul, dan berbagai camilan instan lainnya yang tengah populer di kalangan anak-anak telah menimbulkan keresahan di masyarakat. Latiao, sebuah camilan pedas berbahan dasar gluten gandum asal Tiongkok, belakangan menjadi tren di kalangan anak-anak dan remaja Indonesia karena rasa pedasnya yang unik.Â
Sayangnya, di balik kepopuleran ini, muncul berbagai laporan tentang kasus keracunan akibat konsumsi latiao yang mengandung bahan kimia atau pengawet berbahaya yang tidak sesuai dengan standar kesehatan. Selain itu, kasus chiki ngebul, jajanan berasap yang dicampur nitrogen cair untuk efek visual "asap dingin" yang menarik, telah menyebabkan beberapa anak mengalami luka bakar hingga keracunan.
Ironisnya, produk-produk seperti ini sering kali lolos dari pengawasan ketat lembaga terkait dan bebas dipasarkan. Fakta ini menjadi sorotan, sebab negara memiliki tanggung jawab penuh dalam memastikan setiap produk yang beredar di masyarakat, khususnya yang menyasar anak-anak, aman dan bebas dari bahan berbahaya. Namun, lemahnya pengawasan dan kontrol kualitas menyebabkan produk-produk yang rentan membahayakan kesehatan anak-anak ini tetap beredar, menunjukkan bahwa negara masih lengah dan kurang bertanggung jawab dalam melindungi konsumen anak-anak dari ancaman pangan berbahaya.
 1. Sistem Sekuler Kapitalisme Mengikis Tanggung Jawab Negara
Dalam sistem sekuler kapitalisme yang dianut sebagian besar negara saat ini, peran negara cenderung terbatas pada regulasi tanpa ikut serta dalam penjaminan penuh atas keamanan pangan. Saat kasus-kasus keracunan pangan atau obat terjadi, pihak yang ditindak hanyalah produsen atau distributor, tanpa adanya konsekuensi bagi pihak pengawas yang gagal menjalankan tugasnya dengan baik. Pada kasus keracunan latiao misalnya, negara seharusnya mampu mengendalikan dan mengawasi setiap tahap mulai dari impor, produksi, hingga distribusinya. Meski latiao diproduksi oleh industri swasta, negara memiliki tanggung jawab mutlak dalam memastikan bahwa setiap produk yang beredar di masyarakat memenuhi standar keamanan.
Ironisnya, alih-alih menjalankan fungsi ini secara penuh, pejabat sering kali justru menghindari tanggung jawab. Padahal, sudah menjadi kewajiban negara untuk melakukan kontrol ketat demi menjamin keamanan kesehatan masyarakat, terutama bagi anak-anak yang rentan terhadap dampak buruk produk pangan tidak aman. Jika tidak, ini adalah bentuk kelalaian negara yang secara terang-terangan menyepelekan kesehatan generasi mudanya.
2. Kelemahan Sistem Pengawasan yang Berulang
Pengawasan terhadap pangan anak di Indonesia masih jauh dari memadai. Meski BPOM dan Kementerian Kesehatan memiliki kewenangan penuh dalam pengawasan dan uji kelayakan, pelaksanaannya di lapangan sering kali tidak optimal. Akibatnya, produk-produk berbahaya seperti permen atau camilan berwarna menarik namun berpotensi beracun, lolos dari pengawasan dan masuk ke pasaran. Sistem ini menunjukkan betapa lemahnya pengawasan dan betapa seringnya pemerintah kecolongan.
Selain itu, lemahnya penindakan terhadap pelanggar di industri makanan semakin memperburuk situasi. Sanksi yang diterapkan sering kali tidak cukup kuat untuk memberi efek jera. Produsen-produsen nakal kerap mengulangi kesalahan yang sama, karena mereka tahu bahwa hukuman yang diterima masih sebanding dengan keuntungan yang mereka peroleh dari penjualan produk berbahaya ini. Kondisi ini memperlihatkan bahwa negara tidak serius dalam melindungi anak-anak dari ancaman pangan berbahaya.
3. Sistem Islam sebagai Solusi Riayah (Perlindungan) yang Menyeluruh
Sistem Islam memberikan solusi yang berbeda dan lebih holistik dalam menangani masalah ini. Dalam pandangan Islam, setiap pemimpin adalah pengurus yang bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya. Negara memiliki kewajiban penuh untuk menjamin keamanan setiap produk pangan yang beredar, termasuk produk untuk anak-anak. Rasulullah bersabda: "Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin" (HR. Bukhari No. 6605). Dengan kata lain, penguasa tidak hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pelayan dan pelindung masyarakat.