Ramadan kali ini membawa berbagai nuansa yang berbeda dari yang pernah kita alami sebelumnya. Saat kita menjalankan ibadah puasa dan merasakan keberkahan bulan suci ini, di belahan lain bumi, di Gaza, saudara-saudara kita mengalami penderitaan yang tak terbayangkan.
Saat kebanyakan dari kita mendapat kebahagiaan dalam momen berbuka dan sahur, di Gaza, kebahagiaan tampaknya menjadi barang langka. Mereka harus berjuang untuk mencari makanan, bahkan harus mengais di tempat-tempat yang tidak layak. Kesedihan nampak jelas di wajah-wajah mereka yang terpukul oleh genosida yang sedang terjadi.
Perang yang berlangsung telah menyisakan kehancuran yang melumpuhkan. Ribuan anak-anak, wanita hamil, dan warga lainnya terpaksa menjadi pengungsi tanpa tempat tinggal yang layak. Bencana kelaparan, dehidrasi, dan malnutrisi menimpa mereka dengan kejam, menyebabkan kematian yang terus meningkat.
Laporan dari Kementerian Kesehatan Palestina dan organisasi kemanusiaan internasional seperti WHO dan UNICEF menggambarkan gambaran yang mengerikan tentang kondisi krisis kemanusiaan yang melanda Gaza. Anak-anak, yang seharusnya menjadi masa depan yang cerah bagi bangsa Palestina, kini terancam oleh bayang-bayang kematian akibat kelaparan dan kurang gizi.
Seperti lorong hitam yang tak berujung, cahaya solusi itu seakan tak kunjung hadir. Organisasi kemanusiaan internasional telah mencatatkan data dan menyuarakan keprihatinan mereka, tetapi seringkali tanpa solusi konkret. Pertanyaan mendasar pun muncul, apakah mereka benar-benar berupaya mengatasi krisis ini secara serius?
Tidak dapat dipungkiri bahwa perlakuan terhadap Gaza oleh entitas Zion*s dan kegagalan internasional dalam melindungi warga sipil adalah bagian dari genosida sistematis yang telah lama berlangsung. Kelaparan buatan dan blokade yang diberlakukan hanya bertujuan untuk memaksa penduduk Gaza menyerah pada kehendak politik tertentu.
Sementara itu, sikap para penguasa Muslim yang terkesan diam dan tak berdaya dalam menghadapi tragedi ini juga mengecewakan. Ketakutan akan kehilangan kekuasaan seringkali menjadi penghalang bagi mereka untuk bertindak tegas dalam melindungi saudara-saudara seiman mereka.
Dalam pandangan Islam, kewajiban untuk menolong sesama manusia, terutama dalam situasi penjajahan seperti ini, merupakan bagian integral dari iman. Para penguasa Muslim diingatkan untuk tidak hanya memperjuangkan kepentingan politik mereka, tetapi juga untuk menjalankan tanggung jawab iman mereka sebagai bagian dari kaum muslimin.
Solusi atas krisis kemanusiaan di Gaza bukanlah sesuatu yang sulit untuk diwujudkan jika hanya ada kemauan politik dan kemanusiaan yang kuat. Pembukaan blokade dan penyediaan bantuan kemanusiaan yang memadai adalah langkah awal yang harus diambil. Namun, yang terpenting adalah perlunya tegaknya keadilan bagi rakyat Palestina dan sanksi untuk kezaliman Zion*s.
Ramadan yang berbeda kali ini memang menjadi panggilan bagi kita semua untuk bersatu dalam solidaritas, keadilan, dan konsekuensi aqidah. Tak hanya sekedar menahan lapar dan nafsu diri sendiri, tapi juga memperjuangkan hak saudara kita untuk bisa menikmati keberkahan Ramadhan dengan kondisi merdeka. Allah sepertinya ingin mengingatkan kita agar kaum muslimin saling membantu saudaranya, meski tidak satu negara.
Penyelesaian terhadap kekurangan makanan dan malnutrisi pada anak-anak Gaza bergantung pada tekad kuat umat Islam untuk memperjuangkan keberdiran institusi Islam yang kokoh yaitu Khilafah Islam
Langkah ini akan membantu membebaskan tanah dan mengembalikan kekayaan kepada umat Islam. Solusi ini merupakan langkah konkret yang dapat mengakhiri konflik dan kelaparan yang melanda umat.***