Mohon tunggu...
kakak irbah
kakak irbah Mohon Tunggu... Freelancer - content writer

Hai, sifat introvert membawaku senang dengan dunia menulis. Semoga karyaku bisa bermanfaat!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenaikan Harga Beras: Kritik Dedi Mulyadi dan Solusi Islam

1 Maret 2024   06:35 Diperbarui: 1 Maret 2024   07:04 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels.com/ Polina Tankilevitch beras mahal

Kenaikan harga beras belakangan ini telah menjadi sorotan utama di sejumlah wilayah di Indonesia. Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra, Dedi Mulyadi, menyoroti reaksi masyarakat terhadap kenaikan harga beras dengan mengaitkannya dengan sikap diam mereka terhadap kenaikan harga barang lain seperti skincare dan rokok.

"Kalau harga beras naik ribut, dunia serasa mau kiamat," kata Dedi dikutip dari kanal YouTube, Kang Dedi Mulyadi Channel (27/2/2024).

Banyak netizen yang geram dengan pendapat Kang Dedi Mulyadi. Pasalnya beras adalah kebutuhan pokok masyarakat, yang tidak bisa dibandingkan dengan skincare atau rokok.

Sebagai bahan pokok masyarakat Indonesia, harga beras mempengaruhi langsung stabilitas ekonomi rumah tangga, terutama bagi mereka yang berada dalam kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Kenaikan harga beras berdampak pada pengurangan daya beli, yang pada gilirannya mempengaruhi pemenuhan kebutuhan dasar lainnya seperti lauk-pauk, biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Dalam video yang diunggahnya Kang Dedi juga mengatakan, "Setiap hari makan nasi dari beras tapi tidak pernah menghargai sawah dan buruh tani."

Kritik tersebut menarik perhatian karena menggambarkan kondisi negara yang tampaknya kurang menghargai peran petani.

Berita terbaru juga melaporkan bahwa kenaikan harga beras tidak selalu menguntungkan petani. Hal ini terlihat pada mundurnya musim tanam padi karena pengaruh fenomena El Nino, yang menyebabkan hasil produksi petani menurun secara signifikan. Di Lumajang, petani juga mengeluhkan biaya yang tinggi untuk menanam, membeli pupuk, dan obat pertanian. Dengan lahan yang terbatas, para petani mengeluh jika hasil panen hanya cukup untuk menutupi biaya produksi dan pengolahan, sementara sisa hasil panen yang tersisa untuk konsumsi pribadi sangat sedikit (Kompastv Jawa Timur, 26 Februari 2024).

***

Muhammad Hatta, seorang ekonom dari Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA), mengungkapkan bahwa terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab kenaikan harga beras.

Menurutnya, kenaikan harga beras terkait dengan sejumlah faktor yang kompleks. Dalam wawancara di acara Kabar Petang: "Ekonom Peringatkan Dampak Mengerikan Saat Harga Beras Terus Meroket" yang disiarkan melalui kanal Khilafah News pada Selasa (27 Februari 2024).

Ia menjelaskan bahwa faktor-faktor tersebut meliputi berbagai hal, seperti perubahan luas lahan pertanian, masalah ketersediaan sumber daya air, kebutuhan akan modal, ketersediaan tenaga kerja, kemajuan teknologi, praktik penimbunan, dan cara pembentukan harga.

Para petani juga mengalami kesulitan mendapatkan pupuk dan obat-obatan pertanian, hingga kepemilikan lahan yang sangat terbatas dan harga jual hasil panen yang tidak menguntungkan.

Meskipun pemerintah telah menjalankan berbagai program untuk mengatasi masalah seputar beras, seperti penetapan harga, operasi pasar, distribusi beras SPHP, dan pembagian bantuan sosial, namun kenaikan harga tidak juga teratasi dengan baik. Ini menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut hanya menangani gejolak harga secara teknis, tanpa menyelesaikan akar permasalahan.

Selain itu, banyak yang berpendapat bahwa program bantuan beras saat ini terkait erat dengan agenda politik yang mendekati pemilu, yang tujuannya bukanlah untuk menyelesaikan masalah rakyat, melainkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.

Perspektif yang hanya melihat masalah ini dari sudut pandang teknis, bukan sistemis dan ideologis, menjadi penyebab masalah yang tidak kunjung terselesaikan.

***

Jika ditelusuri lebih dalam, akar permasalahan ini berasal dari sistem politik pengelolaan pangan yang menganut kapitalisme neoliberal.

Dalam sistem ini, peran negara hanya sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai penanggung jawab dan pengurus rakyat. Akibatnya, berbagai urusan rakyat seringkali diserahkan kepada korporasi, yang kemudian diatur untuk mencari keuntungan semata.

Selain itu, lembaga-lembaga teknis negara, seperti Bulog, yang seharusnya berperan sebagai pelayan dan pengurus kebutuhan rakyat, kini lebih bersifat sebagai entitas bisnis.

Paradigma bisnis inilah yang menghambat Bulog untuk melakukan penyerapan gabah petani, karena dinilai merugikan kepentingan komersial dan menguatkan orientasi komersial yang bertujuan untuk menstabilkan harga.

Konsep desentralisasi kekuasaan dalam sistem politik demokrasi kapitalisme juga turut memperparah masalah pangan. Hal ini terlihat dalam desentralisasi di antara kementerian dan badan pengurusan pangan, serta dalam bentuk otonomi daerah, yang melemahkan upaya distribusi pangan antar daerah untuk menstabilkan harga.

Sistem ekonomi kapitalisme dengan prinsip kebebasan dan mekanisme pasar bebas mengakibatkan munculnya korporasi-korporasi raksasa yang memiliki akses modal sangat besar. Mereka menguasai seluruh rantai usaha pertanian, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, bahkan termasuk importasi.

Model korporatisasi semacam ini akhirnya mampu mengendalikan pasokan pangan dan harga pasar, serta tingkat konsumsi masyarakat.

Oleh karena itu kita harus memahami bahwa akar masalahnya terletak pada penerapan sistem politik demokrasi kapitalisme yang melahirkan pemerintahan yang lemah, abai, dan gagal mengurusi kepentingan rakyat. Penguasa sebenarnya bukanlah negara, melainkan korporasi.

***

Pendekatan yang berbeda terhadap pengaturan pangan dapat ditemukan dalam politik pangan Islam, yang bertujuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh rakyat, termasuk stabilitas harga. Dalam Islam, tanggung jawab pengaturan pangan sepenuhnya dipegang oleh negara, yang melaksanakan aturan Islam secara menyeluruh.

Dengan sistem politik ekonomi Islam, ketahanan pangan dapat terwujud karena negara berperan sebagai penjamin dan penanggung jawab melalui penerapan aturan Islam. Semua praktik distorsi harga dapat dieliminasi, dan kondisi perekonomian para petani dapat terangkat karena negara mengurus mereka dengan baik.

Penulis sepakat dengan pendapat ekonom Hatta yang melakukan perbandingan dengan prinsip-prinsip dalam Islam. Dia menjelaskan bahwa dalam ekonomi syariah, tanah pertanian tidak diperbolehkan dibiarkan kosong selama tiga tahun. Jika ada tanah yang tidak dimanfaatkan, negara akan mengambil alih dan menyerahkannya kepada individu yang mampu untuk mengelolanya.

Ketika petani membutuhkan modal, negara akan menyediakannya sehingga petani dapat dengan mudah mengakses modal tanpa bunga, karena dalam sistem ekonomi syariah, pemilik modal tidak diperbolehkan mencari keuntungan, kecuali melalui bisnis nyata.

Masalah kedaulatan pangan tidak hanya berkaitan dengan sektor pertanian, tetapi juga sistem keuangan. Sistem ekonomi syariah akan menangani semua faktor yang menyebabkan harga pangan meningkat, termasuk larangan penimbunan barang, mekanisme pembentukan harga, modal, sumber daya manusia, dan lain-lain.

Tugas negara adalah untuk melayani dan melindungi seluruh rakyat dengan intervensi langsung atau tidak langsung.

Negara akan melakukan intervensi dalam tiga hal utama: pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Hatta menjelaskan bahwa jika ketiga hal ini terganggu, akan menyebabkan lingkaran setan.

Misalnya, ketika pendidikan terganggu, seseorang akan kesulitan mendapatkan pekerjaan, yang pada gilirannya akan sulit memenuhi kebutuhan pangan.

Ekonomi syariah akan melakukan intervensi bertahap dalam tiga hal tersebut untuk menghindari lingkaran setan. Itulah bagaimana ekonomi syariah menangani masalah kenaikan harga pangan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun