Menurutnya, kenaikan harga beras terkait dengan sejumlah faktor yang kompleks. Dalam wawancara di acara Kabar Petang: "Ekonom Peringatkan Dampak Mengerikan Saat Harga Beras Terus Meroket" yang disiarkan melalui kanal Khilafah News pada Selasa (27 Februari 2024).
Ia menjelaskan bahwa faktor-faktor tersebut meliputi berbagai hal, seperti perubahan luas lahan pertanian, masalah ketersediaan sumber daya air, kebutuhan akan modal, ketersediaan tenaga kerja, kemajuan teknologi, praktik penimbunan, dan cara pembentukan harga.
Para petani juga mengalami kesulitan mendapatkan pupuk dan obat-obatan pertanian, hingga kepemilikan lahan yang sangat terbatas dan harga jual hasil panen yang tidak menguntungkan.
Meskipun pemerintah telah menjalankan berbagai program untuk mengatasi masalah seputar beras, seperti penetapan harga, operasi pasar, distribusi beras SPHP, dan pembagian bantuan sosial, namun kenaikan harga tidak juga teratasi dengan baik. Ini menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut hanya menangani gejolak harga secara teknis, tanpa menyelesaikan akar permasalahan.
Selain itu, banyak yang berpendapat bahwa program bantuan beras saat ini terkait erat dengan agenda politik yang mendekati pemilu, yang tujuannya bukanlah untuk menyelesaikan masalah rakyat, melainkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Perspektif yang hanya melihat masalah ini dari sudut pandang teknis, bukan sistemis dan ideologis, menjadi penyebab masalah yang tidak kunjung terselesaikan.
***
Jika ditelusuri lebih dalam, akar permasalahan ini berasal dari sistem politik pengelolaan pangan yang menganut kapitalisme neoliberal.
Dalam sistem ini, peran negara hanya sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai penanggung jawab dan pengurus rakyat. Akibatnya, berbagai urusan rakyat seringkali diserahkan kepada korporasi, yang kemudian diatur untuk mencari keuntungan semata.
Selain itu, lembaga-lembaga teknis negara, seperti Bulog, yang seharusnya berperan sebagai pelayan dan pengurus kebutuhan rakyat, kini lebih bersifat sebagai entitas bisnis.
Paradigma bisnis inilah yang menghambat Bulog untuk melakukan penyerapan gabah petani, karena dinilai merugikan kepentingan komersial dan menguatkan orientasi komersial yang bertujuan untuk menstabilkan harga.