Mohon tunggu...
Boby Piliang
Boby Piliang Mohon Tunggu... Jurnalis - Asisten Staf Khusus Ketua DPD RI

Asisten Sefdin Saefuddin (Staf Khusus Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Surau, Lapau, dan Rantau

1 Maret 2017   08:01 Diperbarui: 1 Maret 2017   08:30 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang mungkin lebih panjang masa belajarnya di ranah adalah Mohammad Hatta. Hatta terlahir di keluarga Siak dimana kakeknya adalah Syaikh Abdurahman yang memiliki Surau tempat belajar agama di Batu Hampar Kabupaten 50 Kota. Sebagai anak ulama terpandang tentu saja dari kecil Hatta telah diajarkan berbagai ilmu Agama. Namun, sama dengan tokoh lainnya, Hatta telah menginyam pendidikan Belanda sejak umur 11 tahun di Europese Lagere School (ELS), lanjut ke MULO dan Prins Hendrik Handels di Jakarta pada tahun 1919 lalu pada 1921 Hatta melanjutkan sekolah di negeri Belanda.

Sejarah hidup empat tokoh besar ini sudah cukup untuk menggambarkan kepada kita latar belakang kehidupan dan pendidikan mereka. Kalau boleh disimpulkan mereka semua berasal dari keluarga berada dan terhormat sehingga dapat menikmati pendidikan modern berupa sekolah yang didirikan Belanda sebagai bagian dari politik etis itu. Selain Hatta, kita tidak menemukan referensi yang valid mengenai peran surau apalagi lapau dalam membentuk dasar karakter dan keilmuan mereka. Meskipun pahit, kita terpaksa mengakui sistem pendidikan Belanda telah berhasil menjadikan mereka benar-benar orang Minangkabau yang berbeda.

Kembali ke Surau kembali ke Lapau

Dengan menyimak kisah hidup diatas setidaknya kita bisa menelaah seberapa besar kebutuhan Minangkabau untuk mewujudkan wacana kembali ke surau dan kembali ke lapau. Penulis dengan berani mengatakan kembali ke surau hanya sebagai pengalih atas kalahnya kita berkompetisi di tingkat nasional.

Kembali ke Surau saat ini sudah tidak relevan lagi karena sistem pendidikan telah jauh berubah. Ilmu pengetahuan telah berkembang sedemikian rupa sehingga kurikulum pendidikan pun membutuhkan pola pengajaran yang jauh lebih kompleks dan mengadopsi nilai-nilai kekinian.

Penulis tidak menafikan bila Surau menjadi wadah bagi tumbuhnya nilai-nilai agama dalam setiap tindak tanduk tokoh tersebut. Tan Malaka misalnya meskipun memiliki ideologi komunis namun ia tetap menyatakan bahwa di hadapan Tuhan ia adalah Islam. Tentu ini merupakan hasil pendidikan masa kecil dari keluarga yang islami. Namun pendidikan agama saat ini telah begitu mudah didapatkan di sekolah-sekolah umum. Pesantren dan boarding school yang bertebaran di Indonesia saat ini telah memiliki kurikulum yang jauh lebih lengkap bila dibanding surau konvensional di Minangkabau era dulu. Pesantren atau boarding school itu mengajarkan semua pengetahuan umum, Agama, Bahasa, teknologi dan beladiri yang jauh lebih variatif dibandingkan dengan gambaran pendidikan surau zaman dulu.

Demikian banyak lembaga pendidikan yang menawarkan pola pendidikan yang lebih lengkap daripada surau seperti gambaran masa lalu itu. Karena itu penulis menganggap jargon kembali ke surau tak lebih dari menangisi kegemilangan masa silam. Kalau mau kembali meningkatkan kualitas pendidikan agama dan pendidikan umum di Minangkabau tak ada pilihan lain harus mengikuti kebutuhan zaman yakni mendirikan perguruan dengan sistem dan kurikulum modern. Hal yang telah dicontohkan oleh Belanda dengan mendirikan sekolah raja (kweekschool), MULO ataupun Hoogere Burgerschool (HBS) yang menghasilkan intelektual pribumi yang gemilang.

Satu hal penting yang dilupakan oleh penganjur balik ke surau dan merupakan faktor paling dominan adalah sistem budaya Minangkabau yang saat ini telah banyak berubah. Keluarga Batih (inti) saat ini sudah tidak tinggal lagi di rumah gadang tapi sudah di rumah ayah. Dengan sendirinya tidak ada lagi motivasi untuk tidur di surau.

Peran lapau bagi penulis juga tidak signifikan dalam pembentukan kecerdasan intelektual orang Minangkabau. Di lapau jarang sekali kita menemukan adanya dialektika tentang ilmu pengetahuan maupun peradaban. Yang tersisa dari lapau sejak penulis lahir tahun 80an hingga kini hanyalah sarana bersosialisasi belaka. Entah kalau tahun-tahun sebelumnya namun penulis tidak menemukan referensi yang shahih tentang itu. Penulis lebih banyak menemukan cimeeh di Lapau ketimbang berbagi ilmu pengetahuan dan informasi berguna. Tentang cimeeh ini sudah menjadi rahasia umum di rantau merupakan stereotype orang Minang dan penulis sendiri dengan sadar hati mengakui adalah seorang pencimeeh pula.

“Dunia itu datar,” tulis Thomas Friedman dalam bukunya The World is Flat, A Brief History of The Globalized World in The 21st Century. Ungkapan tersebut menggambarkan, bagaimana dunia saat ini sudah begitu terintegrasi. Dengan globalisasi beserta kemajuan telekomunikasi, dunia telah menjadi “satu lapangan permainan”. Dunia yang datar itu telah meniadakan sekat-sekat informasi dan komunikasi. Manusia di satu belahan dunia dapat bergabung dengan manusia belahan dunia lainnya untuk berdiskusi dan bertukar informasi melalu beragam media sosial. Dengan sendirinya peran Lapau yang dikatakan untuk bertukar informasi dan berdialektika sudah tergantikan dengan sukses oleh perkembangan zaman.

Rantau

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun